Menguak Peran 4 Tersangka Kasus Dana Hibah dari DPRD Jatim

Menguak Peran 4 Tersangka Kasus Dana Hibah dari DPRD Jatim

Fasad gedung DPRD Jawa Timur di Jalan Indrapura, Surabaya. KPK terus mengusut kasus suap dana hibah Pemprov Jatim yang menyeret sejumlah wakil rakyat.-M Sahirol Layeli-

BACA JUGA:Dituntut 12 Tahun, Sahat Divonis 9 Tahun

BACA JUGA:Anak Buah Sahat Divonis 4 Tahun, Sesuai Tuntutan JPU

Anda sudah tahu, kasus suap dana hibah tersebut terungkap berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Desember 2022 lalu.

Saat itu, KPK menetapkan Sahat Tua Simandjuntak, wakil ketua DPRD Jatim, sebagai tersangka suap. Ia menerima suap dari terpidana Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

Suap itu untuk mengusulkan pokok pikiran (pokir) dari berbagai pokmas di pulau Madura. Sahat didakwa menerima suap sebesar Rp 39,5 miliar. Sahat kini tengah menjalani hukuman 9 tahun penjara di Lapas Kelas 1 Surabaya, Medaeng.

Seperti diketahui, dana hibah pokir masyarakat itu memang secara legal bersumber dari 10 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Setiap anggota DPRD Jatim dapat alokasi dana Pokir Rp 8 miliar sampai Rp 10 miliar setahun. 

Anggota DPRD bisa menggunakan dana itu dengan wewenang penuh. Perantaranya harus ada pengajuan program dari kelompok masyarakat. Yang disebut kelompok masyarakat itu pun minimal 6 orang. 

Biasanya, kepala desa menjadi sosok yang bisa dimanfaatkan. Sebab, bisa dengan mudah membentuk kelompok masyarakat. Dana itu bisa dibuat proyek apa saja. Mulai pengaspalan jalan, plengsengan parit, pendidikan, dan apa pun yang diminta kelompok masyarakat. 


Ekpresi Sahat Tua Simanjuntak usai sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Selasa, 26 September 2023.-Pace Morris-

BACA JUGA:Meskipun Vonis Sahat Tua Simandjuntak Dikorting 3 Tahun tapi Uang Penggantinya Cukup Besar, Rp 39,5 Miliar!

BACA JUGA:Fakta Sahat Tua yang Tak Terungkap di Persidangan

Kelak, kepala desa bisa dapat komisi. Demikian juga anggota kelompok masyarakat. Kelompoklah yang punya wewenang siapa yang ditunjuk untuk mengerjakan proyeknya. Bisa dikerjakan sendiri, bisa kontraktor.

Para kontraktor pun tahu ada dana Pokir seperti itu. Maka mereka mendekati anggota DPRD. Bisa membantu mencarikan lokasi di desa mana. Bisa membantu membentuk kelompok masyarakat. Bisa membantu mencarikan yang pandai bikin proposal.

Program ini kian lama kian maju karena bisa bayar komisi di depan. Diijonkan. Si anggota DPRD dapat uang lebih dulu dari kontraktor. Bahkan, sebelum proyek dikerjakan dan sebelum ada proposal. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: