2045 Menuju Indonesia Emas, Peluang atau Ancaman?

2045 Menuju Indonesia Emas, Peluang atau Ancaman?

Ilustrasi.--

INDONESIA merdeka menjadi negara yang berdaulat di tahun 1945. Jelang usia satu abad 100 tahun Indonesia merdeka di tahun 2045, pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS R.I) diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2016 untuk merumuskan Visi Indonesia Emas 2045. 

Mewujudkan Visi Indonesia 2045 yang berdaulat, maju, adil dan makmur tersebut haruslah memperhatikan dengan serius sumber daya manusianya, yaitu Manusia Indonesia yang unggul, berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mentransformasikan Visi mulia tersebut ke dalam situasi dan kondisi saat ini. 

Generasi muda saat ini cenderung permisif dengan nilai-nilai yang bersumber dari negara luar seperti budaya k-pop dan/atau kebarat-baratan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jati diri masyarakat Indonesia, yang kaya nilai-nilai budaya lokal nusantara, adiluhung peradaban luluhur bangsa nusantara yang memerdekakan diri lewat pengorbanan nyawa para pejuang kemerdekaan menjadi negara yang dinamakan Indonesia di tahun 1945. Mewarisi karya-karya besar peradaban sejarah perjalanan bangsa Nusantara – Indonesia lewat seni tari-tarian, kuliner makanan dan minuman khas pelosok negeri, ragam corak motif kain batik, lukisan, musik daerah, sifat gotong-royong, toleransi. Dan masih banyak lagi yang diturunkan oleh leluhur, mungkin kelewat beragam dan jumlah yang banyak. Generasi saat ini melupakan sebagian yang diwariskan untuk dijaga dan dipelihara dengan baik. 

Masih segar dalam ingatan kita adanya klaim beberapa jenis budaya nusantara diakui oleh negara serumpun yakni Malaysia. Ada lagu rasa sanyange, reog ponorogo, pencak silat, wayang kulit, hingga masakan rendang. 

BACA JUGA:Bonus Demografi di Era Indonesia Emas 2045, Berkah atau Musibah?

BACA JUGA:Wawali Pasuruan Berpesan Persiapan Pemuda untuk Indonesia Emas

Mengapa hal ini bisa terjadi? apakah generasi saat ini merasa sudah diberikan warisan banyak oleh nenek moyang sehingga permisif dengan klaim dari negara lain? 

Pertanyaan tersebut layak dilemparkan kepada pemerintah dan masyarakat, terutama dihubungkan dengan kesiapan menyambut Generasi Emas 2045. 

Refleksi kilas balik abad ke-5 tepatnya 467 M, dimana saat itu terbentuk masyarakat yang kehidupannya permisif. Yaitu mengizinkan orang untuk boleh berbuat apa saja, tanpa ada larangan dan sanksi. Roderic C. Meredith (1998) menggambarkan masyarakat yang serba boleh ini sebagai kutukan masyarakat barat (curse of western society), yaitu tidak diakuinya kebenaran abadi (eternal truth) yang berakibat kehidupan sosial atau bernegara kehilangan panduan. 

Kasus fakta dalam kehidupan bernegara Indonesia belakangan ini dirasakan oleh sebagian masyarakat terdidik/kalangan akademisi, tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan masih banyak lainnya elemen negara mengkritisi kehidupan berbangsa yang telah kehilangan panduan moral dari elite-elite pemimpin penentu arah kebijakan bangsa ini. 

BACA JUGA:Orasi Ilmiah di Wisuda Purna Siswa Ponpes Sunan Drajat, Menkumham: Pentingnya SDM Unggul Menuju Indonesia Emas

BACA JUGA:Kebangkitan Kepemimpinan Nasional dan Indonesia Emas

Kasus korupsi yang merugikan perekonomian negara serta mencabut hak konstitusi warga negara untuk memperoleh fasilitas layanan kesehatan dan pendidikan yang dapat diakses dengan mudah serta murah, dirampas oleh oknum-oknum pejabat baik di pemerintahan, legislatif, badan usaha milik negara/daerah. Termasuk lemahnya aparatur penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan untuk menghadirkan sosok negara dalam penyakit kronis korupsi di Indonesia.

Pada akhirnya bilamana ditanyakan kepada masyarakat hari ini, “Budaya Korupsi atau Korupsi yang Membudaya”, kecenderungan masyarakat sulit menalarkan pola pikir antikorupsi dan terjebak pada problem hedonis yang akut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: