Hak Jawab Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Hak Jawab Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

--

PIMPINAN Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim) mengajukan hak jawab terkait artikel Guest Editor yang ditulis oleh Saudara Dhimam Abror Djuraid pada 3 Agustus 2024 yang berjudul Muhammadiyah dan Kisah Tiga Monyet.

BACA JUGA:Muhammadiyah dan Kisah Tiga Monyet

Berikut adalah hak jawab kami terkait tulisan opini tersebut:

1. Hak jawab merupakan hak yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), dan pada Pasal 1 ayat 11 UU Pers dinyatakan bahwa hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

2. PWM Jatim merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Secara kelembagaan, organisasi ini memiliki struktur pimpinan untuk daerah dan tingkat yang berbeda-beda. Kedudukan hukum (legal standing) PWM Jatim terhadap objek pemberitaan a quo sangat relevan mengingat PWM Jatim merupakan satu di antara bagian besar dari Persyarikatan Muhammadiyah.

3. PWM Jatim sebagai bagian dari organisasi Islam dan masyarakat sipil berkewajiban dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk mendorong jurnalisme dan produk jurnalistik yang bertanggung jawab, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 17 UU Pers, yaitu: (1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan; (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: a. memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

4. Berkaitan dengan tulisan Dhimam Abror dan yang telah dimuat oleh Harian Disway pada 3 Agustus 2024 dengan judul Muhammadiyah dan Kisah Tiga Monyet, yang di dalam tulisan itu, penulis memilih judul, pemilihan gambar dalam laman pemberitaan, serta ilustrasi tiga monyet yang menggambarkan peran Muhammadiyah yang sebenarnya menjadi objek dari hak jawab yang kami ajukan.

5. Tulisan dengan judul Muhammadiyah dan Kisah Tiga Monyet yang berkaitan dengan konsesi tambang yang telah diambil oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang diputuskan pada rapat pleno, diperluas pada 28 Juli 2024, berkaitan dengan pengelolaan izin usaha pertambangan (TUP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan. Usaha pertambangan mineral dan batu bara yang diberikan kepada ormas Islam, salah satunya Muhammadiyah.

6. Pada paragraf 1-4 dari tulisan a quo yang menuliskan: DALAM budaya Jepang dikenal sebuah kisah tradisional mengenai tiga monyet bernama Mizaru, Iwazaru, dan Kikazaru, tiga monyet itu mempunyai kekhasan masing-masing. Mizaru tidak mau melihat hal yang dianggap buruk atau jahat sehingga menutup mata. Iwazaru tidak mau berbicara hal-hal yang dianggap tidak berguna sehingga menutup mulut. Kikazaru tidak mau mendengarkan ocehan yang buruk sehingga menutup kuping. Trio monyet tersebut menjadi kisah yang populer di Jepang dan dikaitkan dengan filosofi Buddha. Aksi tiga monyet itu merupakan tindakan untuk menjaga kebersihan jiwa dengan cara menghindarkan mata, mulut, dan telinga dari hal-hal yang buruk.

Dari kisah tiga monyet itu, muncul peribahasa dalam bahasa Inggris, see no evil, hear no evil, speak no evil. Peribahasa tersebut biasanya muncul bersama gambar tiga monyet masing-masing menutup mata, telinga, dan mulut.

Kisah tiga monyet itu dijadikan sebagai tamsil bagi siapa saja yang tidak hirau terhadap protes dan kritik pihak luar. Atau, dipakai sebagai upaya untuk tidak terpengaruh oleh opini dari luar. Caranya dengan menutup mata, telinga, dan mulut.

Tamsil itu tampaknya cocok bagi Muhammadiyah yang seminggu terakhir berada pada hot water, ’air panas’, dalam kasus penerimaan konsesi tambang dari pemerintah. Muhammadiyah mengambil keputusan jelas dan tegas. Yakni, menerima tawaran pemerintah untuk mengelola tambang,

7. Kami menyadari bahwa kritik dan pro-kontra dalam keputusan pengelolaan IUP batu bara yang diputuskan oleh PP Muhammadiyah menjadi sebuah keniscayaan dan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam UUD 1945 serta prinsip hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang juga diatur dalam Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik di mana Indonesia telah meratifikasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2005. Namun, sekali lagi kritik tersebut bukan berarti tidak ada batasannya karena sejatinya kebebasan berekspresi adalah HAM yang dapat dibatasi (derogable rights) yang dalam ketentuannya harus dalam kerangka hukum dan HAM, dalam pemberitaan a quo pembatasannya yaitu sesuai dengan prinsip hukum pers yang eksplisit diatur dalam UU Pers.

8. Penggunaan ilustrasi dan contoh ”Tiga Monyet” di antara banyaknya analogi yang dapat digunakan oleh penulis untuk mengekspresikan kekecewaannya terhadap keputusan PP Muhammadiyah yang menerima IUP yang ditawarkan pemerintah sungguh amat tidak elok, sesuatu hal yang tak menjunjung etika jurnalistik sebagai produk pers. Artikel/opini tersebut tidak sesuai dengan KEJ (kode etik jurnalistik) dan Saudara Dhimam Abror melalui tulisannya juga menyimpang dari KPW (kode perilaku wartawan). Tuduhan bahwa Muhammadiyah tidak mendengar berbagai saran jelas sebuah fitnah keji. Apalagi, dijelaskan bahwa ada salah satu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah yang menolak. Jelas hal tersebut tidak berdasar fakta yang ada. Mengingat, semua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah se-Indonesia menerima dan setuju soal pengelolaan tambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: