Optimalisasi Penerimaan Negara dan Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy)

Optimalisasi Penerimaan Negara dan Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy)

ILUSTRASI Optimalisasi Penerimaan Negara dan Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

KINERJA perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu negara lazimnya diukur berdasar nilai produk domestik bruto (PDB). Metode pengukuran itu banyak dianut negara di seluruh dunia sampai detik ini. Namun, metode tersebut, menurut banyak kalangan, dianggap sebagai metode yang masih memiliki banyak kekurangan. 

Pasalnya, perhitungan PDB yang digunakan belum memasukkan seluruh kegiatan yang sesungguhnya berlangsung dalam suatu perekonomian. Konsekuensinya adalah hasil perhitungan PDB tersebut tidak mencerminkan kondisi perekonomian sesungguhnya dan menjadi bias atau lebih rendah dari ukuran ekonomi yang sebenarnya. 

Terdapat banyak kegiatan ekonomi, baik secara legal maupun ilegal, yang tidak masuk perhitungan PDB. Aktivitas ekonomi itu biasa disebut shadow economy atau dengan pemaknaan ekstrem disebut underground economy (UE) yang sejak lebih dari satu dekade terakhir telah menjadi isu global (Schmit, 2003). 

BACA JUGA: Prabowo Gibran Bertekad Bentuk Badan Penerimaan Negara, Tingkatkan Rasio, Bayar Pajak Bisa Lebih Murah

BACA JUGA: Relevansi Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia

Aktivitas UE mencakup berbagai praktik yang tersembunyi. Dalam skema yang gelap ini, jaringan kriminal berkembang pesat. Itu menjadikan kegiatan-kegiatan tersebut sebagai sumber pendapatan yang menggiurkan. Namun, dampaknya yang sangat merugikan terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tidak bisa diabaikan begitu saja.

Beberapa contoh kegiatan yang digolongkan sebagai UE yang belakangan ini cukup menyita perhatian melalui pemberitaan pada media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah kegiatan penyelundupan barang ke luar negeri melalui ekspor ilegal maupun impor ilegal. 

Misalnya, mulai produk tekstil dan turunannya, bahan bakar minyak (BBM), barang elektronik, sampai hewan-hewan langka yang dilindungi. Juga, kasus-kasus masuknya barang-barang dari Tiongkok ke Indonesia tanpa melalui pintu bea cukai. 

BACA JUGA: Ngalap Berkah Stimulus Ekonomi dari Pilkada Jatim 2024

BACA JUGA: Pertahankan Jatim sebagai Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Fenomena itu mengakibatkan kerugian negara dalam hal tidak dipungutnya bea masuk dan pajak impor serta tidak terbendungnya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia. Bahkan, sampai dengan aktivitas ilegal lainnya, seperti pengiriman TKI gelap, perdagangan obat bius, judi online, human trafficking, yang ujung-ujungnya bertalian erat dengan aktivitas pencucian uang (money laundring).

Diskursus tentang ancaman aktivitas UE terhadap hilangnya potensi penerimaan riil kas negara telah lama memantik perdebatan di kalangan para ekonom dan politikus dunia. Namun, upaya membangun kesepahaman di kalangan anggota kaukus keuangan global terhadap penguatan institusi demi mencegah aktivitas ilegal UE masih terus berlangsung. 

Berkembangnya kegiatan UE juga diyakini berpotensi menyebabkan hilangnya penerimaan negara melalui sektor perpajakan. Kegiatan ilegal tersebut umumnya lepas dari pengawasan otoritas pajak sehingga potensi penerimaan negara dari kewajiban pajak yang timbul dari kegiatan UE menjadi hilang. 

BACA JUGA: Swiftonomics, Kutub Baru Pertumbuhan Ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: