Bahaya di Balik Merosotnya Jumlah Kelas Menengah

Bahaya di Balik Merosotnya Jumlah Kelas Menengah

ILUSTRASI bahaya di balik merosotnya jumlah kelas menengah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

PADA JANUARI 2020 Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk Aspiring Indonesian-Expanding the Middle Class menyimpulkan, satu dari lima masyarakat Indonesia adalah kelompok kelas menengah. Bank Dunia juga mengidentifikasi lima kelas masyarakat yang didasari pada perilaku konsumsi yang berbeda di Indonesia. 

Mereka terdiri atas kelompok miskin, rentan, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas. Konsumsi kelompok itu tumbuh 12 persen setiap tahun sejak 2002. Hampir setengah atau 47 persen dari seluruh konsumsi rumah tangga Indonesia berasal dari kelompok kelas menengah itu. 

Secara harfiah, kelompok kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak lagi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar dan hidup di atas garis kemiskinan, tetapi masih rentan terperosok jika sewaktu-waktu terjadi turbulensi yang mengganggu stabilitas ekonomi. 

BACA JUGA: Populasi Kelas Menengah di RI Menyusut 8,5 Juta Orang

Bahkan, jika daya beli kelas menengah menurun, hal itu dapat memaksa mereka untuk berpindah ke calon kelas menengah atau rentan sehingga mengurangi peran mereka sebagai kontributor pajak dan sebaliknya, meningkatkan ketergantungan mereka pada dukungan fiskal.

Secara populasi, jumlah mereka mencapai 52 juta jiwa atau 20 persen dari total penduduk. Mereka memiliki kualifikasi sumber daya manusia (SDM) yang terampil. Sekitar 56 persen alokasi pengeluaran kelompok itu dipakai untuk pendidikan dan kesehatan serta memiliki aset yang cukup untuk berwirausaha. 

Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Triwulan III/2024, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengelompokkan kelas menengah sebagai penduduk yang memiliki peluang kurang dari 10 persen menjadi miskin atau rentan di masa depan berdasar tingkat konsumsinya saat ini. 

Berdasar definisi tersebut, LPEM FEB UI mengalkulasikan jumlah kelas menengah di Indonesia berdasar garis kemiskinan tingkat kabupaten/kota. Hasilnya, jumlah kelas menengah sempat meningkat tajam dari 2014 hingga 2018: dari 21 juta (15,6 persen jumlah penduduk) menjadi 60 juta jiwa (23 persen jumlah penduduk). 

Meski demikian, setelah 2018, yang terjadi malah sebaliknya, terjadi penurunan karena pandemi Covid-19. Walaupun cenderung aman secara ekonomi, sebagian dari mereka masih menghadapi berbagai jenis kemiskinan nonmoneter. 

Misalnya, minimnya hunian yang layak. Mereka juga masih menghadapi kemungkinan untuk turun kelas. Penyebabnya, setengah dari rumah tangga kelas menengah bawah diperkirakan tidak memiliki akses air minum dan akses sanitasi. 

Terlebih, dalam kurun enam tahun terakhir, porsi penduduk kelas menengah menurun hingga lebih 8,5 juta jiwa seiring dengan pelemahan pertumbuhan ekonomi. 

Kelas menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara lantaran menyumbang 50,7 persen dari penerimaan pajak, sedangkan calon kelas menengah menyumbang 34,5 persen. 

Sebagaimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pajak yang dimaksud merupakan pajak penghasilan, pajak properti, dan pajak kendaraan bermotor. Pada 2022, rasio pajak atau tax ratio terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia berada di angka 10,38 persen, yang relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. 

Rasio itu terus mengalami tren penurunan menjadi 10,21 persen pada 2023. Hasil survei juga mencatat bahwa daya beli kelas menengah terus tergerus sejak 2018. Pada 2018, porsi konsumsi kelas menengah mencapai 41,9 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Terjadi tren penurunan sejak itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: