Bahaya di Balik Merosotnya Jumlah Kelas Menengah

Bahaya di Balik Merosotnya Jumlah Kelas Menengah

ILUSTRASI bahaya di balik merosotnya jumlah kelas menengah. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pada 2023, total konsumsi kelas menengah hanya mencapai 36,8 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia. Kontribusi pajak mereka sangat mungkin berkurang jika daya beli kelompok itu kian tergerus sehingga berpotensi memperburuk rasio pajak terhadap PDB yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan membiayai proyek pembangunan. 

Kondisi terburuk, pemerintah akan menghadapi tekanan keuangan yang lebih besar dan mungkin perlu meningkatkan pengeluaran publik untuk subsidi, yang selanjutnya memengaruhi rasio pajak terhadap PDB dan mempersulit upaya mencapai keberlanjutan fiskal serta mempertahankan pertumbuhan ekonomi. 

Kondisi mencemaskan itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut dan perlu ada upaya kebijakan yang membuat kelas menengah lebih tahan terhadap turbulensi ekonomi.

Terlebih, saat situasi terkena hantaman pandemi Covid-19, banyak orang kehilangan pekerjaan maupun mengalami pengurangan jam kerja, terutama di sektor formal dan di perkotaan, yang keduanya merupakan bagian dari ciri-ciri populasi kelas menengah. 

Tidak mengejutkan, hal itu sesuai dengan temuan Bank Dunia. Yakni, berbagai guncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, serta bencana alam bisa mengancam masyarakat kelas menengah turun kasta.

KEBIJAKAN PRUDENSIAL 

Karena kontribusi kelas menengah yang cukup besar terhadap PDB, pemerintah perlu melakukan pendekatan dengan merilis kebijakan prudensial dengan beberapa pertimbangan agar kelompok kelas menengah itu mampu mempertahankan daya belinya dan calon kelas menengah bisa terakomodasi untuk bisa naik kelas lebih tinggi. 

Pertama, menangguhkan secara bertahap atas pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen pada 2025. Paket kebijakan bersifat stimulus itu semata-mata untuk merangsang public spending yang muaranya akan mendongkrak tingkat konsumsi kelompok tersebut dan masyarakat pada umumnya. 

Penangguhan kenaikan PPN itu memiliki efek berganda yang sangat luas. Bagi produsen, penangguhan PPN secara langsung mendorong harga barang dan jasa kian kompetitif. 

Kedua, memberikan insentif fiskal kepada kelompok kelas itu bagi yang ingin berinvestasi di sektor tertentu yang menjadi prioritas pemerintah. Sebagai contoh, insentif pajak di sektor rantai pasok bidang pariwisata yang kini digeber pemerintah untuk mendongkrak wisatawan dalam dan luar negeri yang ujung-ujungnya merangsang masuknya aliran devisa. 

Pengembangan sektor pariwisata saat ini cukup menjanjikan di Indonesia. Sebab, potensi pariwisata di Indonesia sangat besar dan bisa merangsang pertumbuhan ekonomi lantaran dampaknya bisa dirasakan secara langsung ke masyarakat. 

Jika kelompok masyarakat miskin mendapatkan bantuan sosial, kelas menengah ke atas bisa dipertimbangkan memperoleh insentif berupa tax holiday dan semacamnya. Insentif yang bisa diberikan kepada kelas menengah itu sebenarnya cukup sederhana. Pemerintah cukup membuat aturan yang tepat agar daya beli kelas tersebut tidak tertekan. 

Ketiga, pemerintah perlu menjaga tingkat inflasi pada level rendah agar menjaga tingkat konsumsi dan public spending tak terganggu. Sebab, kedua faktor tersebut merupakan elemen pembentuk modal bruto PDB. 

Keempat, memprioritaskan kebijakan penciptaan lapangan kerja dan sektor investasi yang pro padat karya. Peningkatan pada sektor itu akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan konsumen.  

Sebagaimana diketahui, pemerintah sendiri terus menempuh berbagai upaya agar Indonesia mampu keluar dari middle income trap. Caranya, antara lain, pembangunan infrastruktur, kapasitas SDM yang berkualitas, riset inovasi dan pengembangan bisnis, transformasi kebijakan dan regulasi, tata kelola data dan pengamanannya, hingga peningkatan investasi dan sumber pembiayaan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: