BKKBN: Kontrasepsi untuk Seluruh Remaja, Bukan Cuma Pelajar
Penyediaan kontrasepsi di kalangan remaja untuk menekan angka pernikahan dini.-Boy Slamet/Harian Disway -
Data akan dikumpulkan dari tingkat desa hingga provinsi. “Sehingga data itu bisa dipertanggungjawabkan jumlah pasangan usia subur di desa itu, yang dihitung oleh bidan desa," terang Andy.
Ya, aturan itu memang menimbulkan pertanyaan moral di masyarakat. Pasal 103 Ayat 4 PP No. 28 Tahun 2024 yang mengatur penyediaan kontrasepsi di sekolah memicu kekhawatiran bahwa hal ini dapat melegalkan seks bebas di kalangan remaja.
BACA JUGA:PP 28/2024 dan Ribut Soal Rokok Eceran
BACA JUGA:Jokowi Larang Warga Jual Rokok Eceran, Ini Alasannya
Sebagian pihak menilai kebijakan itu sebagai upaya penting untuk melindungi kesehatan reproduksi remaja. Namun, tak sedikit yang khawatir kebijakan ini bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada.
Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim Bidang Advokasi, Hukum, Kebijakan Regional, Hisnindarsyah mengatakan bahwa norma moralitas yang berbeda di masyarakat sering kali menciptakan tantangan dalam implementasi kebijakan kesehatan reproduksi.
Menurutnya, kebijakan itu merupakan langkah penting untuk mencegah penyakit, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja secara keseluruhan.
“Tidak dapat ditampik, jika angka perilaku seks bebas di luar pernikahan yang terjadi di kalangan remaja cukup mengkhawatirkan,” jelasnya.
Seperti yang diungkap oleh Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 bahwa sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 persen remaja pria di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Bahkan, 11 persen di antaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.
Selain itu, di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah terdapat 59 persen wanita dan 74 persen pria melaporkan mulai berhubungan seksual pertama kali pada umur 15-19 tahun.
“Untuk menyeimbangkan antara kesehatan reproduksi dan moralitas, pendekatan yang inklusif dan sensitif terhadap keragaman nilai, tetap harus diutamakan,” jelasnya.
Pertama, harus dipahami bersama bahwa moralitas bersifat subjektif dan bervariasi antara individu dan komunitas. Oleh karena itu, kebijakan kesehatan reproduksi harus mempertimbangkan keragaman ini dan berupaya untuk memberikan pelayanan yang adil dan tidak diskriminatif.
BACA JUGA:Ada PP Penyediaan Alat Kontrasepsi di Sekolah, Komisi X DPR RI: Nalarnya ke Mana?
BACA JUGA:Pekan Pelayanan KB Serentak dalam Peringatan Hari Kontrasepsi Sedunia Tersedia Hingga 4 Oktober
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: