Sepuluh Perupa Kelompok Merdeka Menerjemahkan Kemerdekaan dalam Berkarya di Jogja Gallery

Sepuluh Perupa Kelompok Merdeka Menerjemahkan Kemerdekaan dalam Berkarya di Jogja Gallery

Pameran seni rupa Kelompok Merdeka dalam Merdeka berlangsung di Jogja Gallery, pada 15-29 Agustus 2024 menyuguhkan karya beragam. --Jogja Gallery

YOGYAKARTA, HARIAN DISWAY - Pameran seni rupa Kelompok Merdeka dalam tajuk Merdeka berlangsung di Jogja Gallery, pada 15-29 Agustus 2024 menyuguhkan karya beragam mulai lukisan, fotografi, patung, dan seni intalasi.

Karya dari seniman Yogyakarta yakni Heru Siswato, Katirin, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung. Juga Ariel Ramadhan (Surabaya), Arik S. Wartono (Gresik), Cipto Purnomo (Magelang), Daniel Timbul (Klaten), Ray Bachtiar Dradjat (Jakarta), dan Sugiyo (Tulungagung).

BACA JUGA: Gelar Pameran Tunggal Lukisan Mulai Besok, Isabell Roses Wakili Rasa Penasaran Gen Z pada Tempo Dulu

Pameran dibuka oleh Edi Sunaryo, Kamis, 15 Agustus 2024, 18.30 WIB dengan menampilkan METIYEM Ambience Musik Nusantara. Terkait pameran tersebut, simak dua esai dua penulis yakni dua kurator ternama Indonesia Djuli Djatiprambudi dan Yaksa Agus.

Djuli dalam esainya untuk pameran ini membahas tentang Perupa, Pameran, dan Berakhirnya Art World. Menurut Djuli, kurator asal Jawa Timur itu, dalam dua dekade terakhir ini semakin santer diisukan medan seni rupa (art world).

Yakni semacam galeri seni rupa (art gallery), museum seni rupa (art museum), pusat seni (art centre), dan lain sebagainya ditengarahi kehilangan kewibawaannya.
Sebagian seniman Kelompok Merdeka dalam pembukaan; Katirin, Sugiyo, Ariel Ramadhan, Arik S Wartono, Ray Bachtiar Drajat, Cipto Purnomo, Daniel Timbul, Heru Siswanto, Komroden Haro, dan Suranto Kenyung. --Jogja Gallery

BACA JUGA: Pameran Kedirgantaraan Bali Airshow Akan Digelar 18 Hingga 21 September 2024: Pabrikan Top Dunia Akan Hadir

Medan seni rupa dinilai telah tamat otoritasnya dalam memposisikan dan mereposisikan perupa dalam garis orbitnya di medan seni rupa. Kondisi ini ditengarahi oleh Morgan (1998) sebagai berakhirnya medan seni rupa (the end of the art world).

Dengan kata lain, medan seni rupa telah kehilangan kekuatan politisnya dalam bernegosiasi dalam medan wacana seni (art discourse) dan medan pasar (art market).  

Sinyalemen berakhirnya medan seni rupa tersebut seakan menambah daftar panjang dari sinyalemen yang bernada kurang lebih sama, yang riuh pada dekade 1990-an. Seperti matinya pengarang (Barthes, 1977) atau bangkrutnya modernisme (Foster, 1985).

BACA JUGA: Dengan Medium Tirtha, Prajna Dewantara Wirata Siapkan Pameran Tunggal Janmashtami sebagai Momentum Suci

Juga seperti berakhirnya teori seni (Burgin, 1986), berakhirnya ideologi (Bell, 1988), dan berakhirnya subjek (Foucault, 1989). Berbagai sinyalemen tersebut dalam konteks barat, yang medan seni rupanya berlangsung secara simetris.
Pengunjung pameran Merdeka menikmati karya seusai pameran dibuka oleh Edi Sunaryo, Kamis, 15 Agustus 2024, 18.30 WIB dengan menampilkan METIYEM Ambience Musik Nusantara. --Jogja Gallery

Dalam arti medan wacana dan medan pasarnya berlangsung progresif, dialektik, simultan, dan tervalidasi terus-menerus dalam sains dan tradisi riset yang sangat memadai (sinyalemen tersebut cukup mudah dipahami duduk perkaranya). 

Modernisme yang telah melahirkan proyeksi sejarah seni rupa modern (modern art) di berbagai penjuru dunia, dipercaya sebagai ‘kebenaran’ tunggal dalam memahami seni rupa modern. Kondisi itu, kini tidak lagi menemukan relevensinya secara signifikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: