Tahun 2025, Menuju Ekonomi Agresif Penuh Gebrakan
ILUSTRASI tahun 2025, menuju ekonomi agresif penuh gebrakan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SETELAH melalui pembahasan di Komisi XI DPR RI pada 6 Juni 2024, asumsi kerangka dasar ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mendapat persetujuan. Rancangan itulah yang akan menjadi acuan kerja pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, periode selanjutnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa pemerintah merencanakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp 616,2 triliun atau setara dengan 2,53 persen dari PDB untuk tahun anggaran 2025.
Menanggapi skema defisit kabinet pemerintahan yang baru, para ekonom mengkhawatirkan tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto akan mencatatkan belanja terbesar sepanjang sejarah di tengah tekanan ekonomi global yang penuh ketidakpastian.
Anggaran belanja negara tahun 2025 yang hendak dijalankan presiden dan wakil presiden terpilih direncanakan dipatok pada besaran angka Rp 3.613,1 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja pemerintah pusat direncanakan sebesar Rp 2.693,2 triliun, sedangkan transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun.
Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp 2.996,9 triliun. Itu terdiri atas penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 2.490,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 505,4 triliun.
Ada yang hal yang tak biasa tahun ini. Yakni, sesudah mengakomodasi program kerja presiden-wakil presiden terpilih, untuk kali pertama rancangan fiskal dibacakan langsung oleh presiden aktif. Nuansa proses transisi kekuasaan terasa dalam suasana keberlanjutan.
BACA JUGA: Ekonomi Hijau, Sebuah Harapan Indonesia Emas 2045
BACA JUGA: Merintis UMKM sebagai Oligarki Ekonomi Baru
Meski demikian, kabinet pemerintahan baru nanti dituntut untuk mampu melakukan berbagai terobosan strategi dan kreativitas dalam suasana perekonomian global yang stagnan.
Berbagai kebijakan pemerintah yang disertai penguatan instrumen APBN selama 10 tahun relatif belum mampu menggerakkan perubahan fundamental, terutama di sektor penciptaan lapangan kerja dan penguatan nilai mata uang rupiah.
Melemahnya daya beli masyarakat dan berkurangnya populasi kelas menengah belakangan ini merupakan refleksi melemahnya penciptaan lapangan kerja. Padahal, keduanya merupakan elemen determinan bagi pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA: Optimalisasi Penerimaan Negara dan Ekonomi Bawah Tanah (Underground Economy)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: