Anak SMA Cabuli Anak SMP, Ditonton Anak SD

Anak SMA Cabuli Anak SMP, Ditonton Anak SD

ILUSTRASI anak SMA cabuli anak SMP di Demak, Jawa Tengah. Kejadian itu ditonton anak SD. Bahkan, anak SD yang berjumlah 5 orang itu ikut membantu pemerkosaan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dilanjut: ”Kode perilaku sangat ketat selama periode waktu tersebut. Anak laki-laki menjadi sasaran kekerasan fisik dari anak laki-laki lain, dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai laki-laki yang lemah, atau terlalu simpatik. Itu tidak selalu berlaku untuk anak perempuan.”

Pakar Australia lain, Prof Victoria Rawlings, peneliti gender, seksualitas, dan pendidikan di University of Sydney, sependapat tentang masa itu dalam kehidupan anak laki-laki. Dia menyatakan, ”Gender memainkan peran besar dalam hal ini.”

Dilanjut: ”Penelitian menunjukkan kepada kita, dalam banyak lingkungan sosial, maskulinitas dipandang berhasil jika dipadukan dengan semacam misogini.”

Misogini adalah bentuk diskriminasi merendahkan gender perempuan yang melibatkan kebencian.

Dilanjut: ”Anak laki-laki mendapatkan penghargaan atau hukuman berdasar seberapa berhasil mereka menjalankan gender mereka. Mereka mendapatkan pujian, modal sosial, bahkan like di Instagram jika mereka melakukannya dengan benar. 

Sebaliknya, mereka dicemooh, dikucilkan, dan diintimidasi jika melakukannya dengan salah. Melalui interaksi itu, terkadang anak laki-laki muda belajar, bahwa maskulinitas yang paling dihargai adalah yang disertai dengan heteroseksualitas yang agresif.”

Tegas sekali pernyataan Rawlings itu. Padahal, dia di sana pakar pendidikan. Tapi, ternyata dia tidak membela pernyataannya sendiri dari hasil riset itu. Ia menyatakan begini: 

Gagasan abadi bahwa ”seperti itulah sifat anak laki-laki” perlu terus-menerus ditentang. Melalui percakapan terbuka dan kritis ke publik, tentang norma gender, keberagaman gender, dan nilai-nilai budaya maskulinitas.

Dilanjut: ”Itu bukan berarti semua maskulinitas adalah masalah. Tidak begitu. Maskulinitas hanyalah konstruksi sosial. Bukan stereotipe. Jadi, kita perlu memperhatikan, kapan konstruksi itu dibangun dengan cara yang sangat sempit dan reduktif yang mendorong kekerasan.”

Teori pakar lainnya, Bianca Fileborn, dosen senior kriminologi dan peneliti kekerasan seksual di University of Melbourne, mengatakan, ”Di awal sekolah menengah atas, ada banyak kecemasan anak laki-laki tentang apakah mereka termasuk, atau dapat, berhasil membangun identitas mereka sebagai seorang pria? Secara umum, ada banyak tekanan untuk menyesuaikan diri dan ada konsekuensi jika mereka tidak melakukannya.”

Dilanjut Fileborn: ”Mereka (remaja laki-laki) sebenarnya diawasi oleh pemuda lain, demi memastikan, apakah mereka melakukan kejantanan mereka dengan benar?”

Di sini berat. Di satu sisi para ortu anak laki-laki pastinya tidak suka melihat anak laki-laki mereka bertindak brutal seks terhadap anak perempuan. Di sisi lain, remaja laki-laki sadar bahwa mereka diawasi pemuda lainnya bahwa mereka harus bertindak secara benar dalam arti negatif. Jelasnya, laki-laki merasa diwajibkan bertindak misogini. Jika tidak ingin dicemooh atau bahkan dikucilkan kelompoknya.

Prof Salter: ”Ini adalah zaman ketika kita melihat budaya yang sangat misoginis dan sangat homofobik muncul. Saya tidak berpikir, budaya ini bakal hancur hanya dengan percakapan yang bersifat persetujuan (seksual) atau percakapan tentang hubungan pria-wanita yang sehat.”

Keheranan banyak orang, begini: Mengapa ada anak laki-laki melihat ada anak perempuan diperkosa laki-laki, mereka tidak menolong atau mencegah?

Prof Kerry Robinson dari University of Western Sydney, pakar gender dan seksualitas, mencatat sejumlah kesaksian terkait pertanyaan tersebut. Tentang adanya anak perempuan berbicara tentang anak laki-laki yang hanya diam saat melihat pemerkosaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: