Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Bukan Hal Mustahil!
ILUSTRASI Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Bukan Hal Mustahil!-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Yaitu tahun 1968 (10,92 persen), 1973 (8,10 persen), 1977 (8,76 persen), 1980 (9,88 persen) dan 1995 (8,22 persen). Artinya, selama 63 tahun peluang ekonomi Indonesia tumbuh minimal 8 persen bukan suatu hal mustahil bisa dikejar.
Terdapat sejumlah faktor, baik internal dan eksternal yang dinilai sebagai penghambat ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen di tahun depan. Pertama, yakni adanya pelemahan permintaan dan terjadi oversupply di Tiongkok.
Hal ini menjadi masalah karena Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia. Di saat permintaan menurun di Tiongkok maka ekspor Indonesia ke Negeri Panda itu pun ikut lesu.
Sementara di sisi lain, Tiongkok yang juga mengalami oversupply di tengah perlambatan permintaan, maka produk-produk tersebut pada akhirnya diekspor besar-besaran ke negara lain, termasuk Indonesia.
Faktor kedua, perlambatan kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) ke level 2,2% pada kuartal II/2024 juga memberikan risiko tekanan yang mengakibatkan perlambatan ekonomi Indonesia. Faktor ketiga, risiko yang menjadi perhatian dari harga komoditas yang telah kehilangan efek windfall sudah sempat rebound, namun secara terbatas tidak setinggi pada 2022.
Seharusnya, dengan adanya kenaikan harga komoditas akan mendongkrak performa perdagangan Indonesia ke luar negeri. Namun ironisnya, ketika harga komoditas andalan ekspor seperti sawit dan batu bara sudah mengalami rebound, pertumbuhan ekspor Indonesia justru melemah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor pada Januari hingga Juni 2024 hanya tumbuh 1,17% dari periode yang sama tahun lalu atau year-on-year (yoy). Sementara impor tumbuh hingga 7,58%.
Faktor keeempat, yakni Indonesia memiliki ketergantungan ekspor yang besar terhadap pasar Tiongkok. Ketika Tiongkok mengalami pelemahan permintaan maka imbasnya akan berpengaruh ke kinerja ekspor Indonesia. Utamanya sektor manufaktur.
Pangsa pasar ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai 23,71%, sementara tujuan pasar sejumlah negara Asean secara keseluruhan hanya mencapai 18,47%. Sebaliknya, angka impor dari Tiongkok justru melesat dengan rata-rata pada kuartal II/2024 sebesar 5,1% (yoy), utamanya pada produk tekstil dan produk tekstil (TPT).
Faktor kelima, adanya pelemahan sektor konsumsi rumah tangga terutama pasca pemilu dan lebaran mengalami penurunan yang tercermin dari Indeks Penjualan Riil yang turun di kisaran 1% pada kuartal II/2024. Pelemahan konsumsi ini terjadi sejalan dengan minimnya peningkatan upah.
Rata-rata upah riil pada 2023 kontraksi, pada 2024 sudah mulai bergerak positif tetapi sangat lemah sekali hanya tumbuh 0,7% yoy.
GEBRAKAN FUNDAMENTAL
Untuk merealisasikan pertumbuhan 8 persen membutuhkan keberanian menerapkan strategi dan terobosan melalui sektor industrialisasi dan modernisasi. Terdapat sejumlah langkah menuju target pertumbuhan ekonomi yang menjadi pertimbangan.
Pertama, Investasi, meningkatkan investasi asing hingga Rp 10.000 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama pada sektor manufaktur. Serta keselarasan regulasi antara berbagai instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang akan memberikan kepastian lebih bagi investor, terutama dalam hal kebijakan investasi.
Hal ini akan membantu meningkatkan infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia. Adapun strategi yang disiapkan untuk mendorong ekonomi dengan meningkatkan investasi yaitu seperti, membangun artificial intelligence (AI) data center, pembangunan carbon capture and storage (CCS).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: