Ke(tidak)arifan Elite Bangsa
ILUSTRASI Ke(tidak)arifan Elite Bangsa. Gus Miftah sebagai elite bangsa dianggap mengolok-olok Sunhaji sang penjual es teh.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Mereka seharusnya menjadi mata air kesejukan di tengah gersangnya dan mulai memudarnya rasa persaudaraan dan saling menghargai di antara berbagai kelompok masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa elite kita begitu mudah menjadi ”biang kerok” kegaduhan. Beberapa hal bisa jadi menjadi penyebab persoalan itu. Pertama, mereka tidak belajar pada sejarah. Presiden Soekarno sudah mengingatkan kita agar jangan meninggalkan sejarah atau ”jasmerah”.
Ungkapan Bung Karno itu bukan sekadar slogan untuk membangkitan semangat. Melainkan, sesungguhnya bermakna perlunya kita belajar dari apa yang sudah pernah terjadi di masa lalu. Jika tidak, kita tidak ubahnya seperti keledai yang jatuh dua kali di lubang yang sama.
Kedua, melunturnya kepekaan nurani. Banyak yang mengatakan bahwa banyaknya kasus ”pelecehan” terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang kebetulan nasibnya tidak sebaik para elite disebabkan tidak mengertinya para elite tentang sosiologi agama.
Saya pikir persoalannya bukan pada pengetahuan agama tersebut. Kurang paham agama apalagi bagi Miftah yang seorang pengasuh pondok pesantren.
Kurang cerdas apa para elite tentang realitas bangsa kita yang begitu majemuk. Kurang tahu apa para elite tentang sebagian masyarakat yang memiliki perasaan solidaritas terhadap kaum lemah.
Kasus terakhir ini membuktikan betapa tinggi solidaritas masyarakat kepada penjual teh yang dibuktikan dengan ramainya protes para netizen. Dengan demikian, persoalannya bukan pada pengetahun, melainkan pada kepekaan atas nasib sebagian anak bangsa yang ”kurang beruntung”.
Ketiga, guyonan saat memberikan ceramah untuk menghidupkan suasana agar jamaah tidak mengantuk adalah sah-sah saja. Akan tetapi, jika guyonan tersebut harus dilakukan secara arif dan bijaksana.
Tidaklah elok jika di tengah suasana berbangsa dan bermasyarakat kita yang rentan terhadap berbagai isu, kita mengungkapkan hal-hal yang ”mencederai” perasaan sebagian masyarakat.
PEMAAFAN
Miftah memang sudah minta maaf secara langsung kepada Sunhaji. Disusul pengunduran dirinya.
Sebagai bangsa yang beradab, sudah seharusnya permintaan maaf tersebut diterima dengan baik. Peristiwa yang kali kesekian itu semoga tidak terus berulang. Permintaan maaf yang tulus adalah jalan penyelesaian yang arif.
Kasus itu semestinya menjadi pelajaran yang sangat berharga tidak cuma untuk Miftah, tetapi kepada semua elemen bangsa bahwa ada sikap dan ungkapan kita yang bisa jadi mencederai perasaan orang dan kelompok lain.
Peristiwa tersebut juga sekali lagi membuktikan kedahsyatan media sosial. Media sosial menjadi kekuatan pengubah yang tidak dapat dianggap remeh. Ia dapat menggerakkan dan memobilisasi massa (netizen) untuk menghukum orang yang dianggap melakukan pelanggaran.
Begitu banyak persoalan bangsa yang membutuhkan energi kita. Terlalu sayang jika energi kita terbuang hanya untuk mengurusi olok-olok, penghinaan, dan lain-lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: