PPN 12 Persen, Beban atau Berkah bagi Perekonomian Indonesia?

PPN 12 Persen, Beban atau Berkah bagi Perekonomian Indonesia?

ILUSTRASI PPN 12 Persen, Beban atau Berkah bagi Perekonomian Indonesia? -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Pertama, melalui peningkatan ketersediaan barang dan jasa yang stabil. 

Kedua, melalui kemajuan teknologi. Itu menjadi faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan untuk penyesuaian aneka macam barang kepada penduduk. 

BACA JUGA:Berikut Daftar Barang - Barang Yang Kena PPN 12 Persen Mulai Tahun 2025

BACA JUGA:Sah! PPN 12 Persen Resmi Berlaku Mulai 1 Januari 2025

Ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan penyesuaian dalam bidang kelembagaan dan inovasi yang muncul berkat ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan dengan tepat. 

Merujuk pada ambisi Presiden Prabowo Subianto yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen yang disampaikan dalam berbagai kesempatan, target pertumbuhan yang diharapkan dapat tercapai dalam kurun dua hingga tiga tahun di era kepemimpinannya, menurut para ekonom, sepertinya menghadapi jalan terjal. 

Berdasar catatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), dalam kurun waktu tahun 1961 sampai tahun 2023, pertumbuhan rata-rata Indonesia 5,11 persen. 

Hanya lima kali tumbuh 8 persen atau lebih. Yaitu, tahun 1968 (10,92 persen), 1973 (8,10 persen), 1977 (8,76 persen), 1980 (9,88 persen), dan 1995 (8,22 persen). 

Artinya, selama 63 tahun peluang ekonomi Indonesia tumbuh minimal 8 persen, secara teoretis bukan suatu hal mustahil bisa dikejar. Akan tetapi, perlu disadari terdapat sejumlah kendala, baik faktor internal maupun eksternal yang akan menjadi penghambat pencapaian target tersebut. 

Pertama, adanya pelemahan permintaan dan terjadi oversupply di Tiongkok. Hal itu menjadi masalah karena Tiongkok merupakan mitra dagang utama Indonesia. Saat permintaan ekspor untuk pasar Tiongkok melemah, ekspor Indonesia ke Negeri Panda itu pun ikut lesu. 

Di sisi lain, Tiongkok juga mengalami oversupply di tengah perlambatan permintaan. Maka, produk-produk tersebut pada akhirnya diekspor besar-besaran ke negara lain, termasuk Indonesia.  

Kedua, perlambatan kinerja ekonomi AS pada kuartal II/2024 juga memberikan risiko tekanan yang mengakibatkan perlambatan ekonomi Indonesia. 

Ketiga, risiko yang menjadi perhatian dari harga komoditas yang telah kehilangan efek windfall sudah sempat rebound, tetapi tidak setinggi pada 2022. 

Seharusnya, adanya kenaikan harga komoditas akan mendongkrak performa perdagangan Indonesia ke luar negeri. 

Ironisnya, ketika harga komoditas andalan ekspor seperti sawit dan batu bara sudah mengalami rebound, pertumbuhan ekspor Indonesia justru melemah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: