LBH Surabaya Catat Sampai Akhir Tahun, Buruh Belum Sejahtera Imbas UU Ciptaker
Abdul Wachid Habibullah (kanan) Direktur LBH Surabaya memaparkan kondisi buruh di Surabaya dalam konferensi pers catatan akhir tahun LBH Surabaya, Jumat 27 Desember 2024 di kantor LBH Surabaya-Jelita Sondang/Harian Disway-Jelita Sondang/Harian Disway
SURABAYA, HARIAN DISWAY- Nasib buruh masih belum baik-baik saja di Kota SURABAYA. Hal itulah yang diungkap LBH (Lembaga Bantuan Hukum) SURABAYA melalui catatan akhir tahun yang dirilis pada Jumat, 27 Desember 2024.
Di kantor LBH Surabaya, Abdul Wachid Habibullah selaku Direktur LBH Surabaya, bahwa masih ada buruh yang mengalami pelanggaran hak yang beragam, mulai dari upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK)/
Lantas soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon, hingga kriminalisasi dengan pasal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya karena melakukan demonstrasi.
Hal itu dibuktikan dari LBH Surabaya yang selama setahun ini, mendapat pengaduan sebanyak 250 kasus, 40 di antaranya terkait kasus buruh. Puluhan kasus itu dikelompokan beberapa kategori, yaitu pelanggaran hak dan kriminalisasi.
"Ini salah satu dampak UU Ciptaker (Undang-Undang Cipta Kerja) banyak perusahaan yang mudah merumahkan karyawannya lalu mempekerjakan karyawan baru dengan kontrak. Memang dalam UU Ciptaker diperbolehkan," papar Abdul.
BACA JUGA:LBH Surabaya Rilis Catatan Akhir Tahun, Terbanyak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak
BACA JUGA:Muhriyono Petani Banyuwangi Divonis 9 Bulan, LBH Surabaya Ajukan Banding
Lebih lanjut, ia menjabarkan bahwa dari 40 kasus, terdapat 16 kasus selesai secara damai, baik melalui jalur non-litigasi maupun pengadilan. Sisanya masih dalam proses penyelesaian.
Abdul Wachid Habibullah, Direktur LBH Surabaya saat diwawancara, Jumat 27 Desember 2024 di kantor LBH Surabaya-Jelita Sondang/Harian Disway-Jelita Sondang/Harian Disway
Selain itu, Abdul Wachid mengungkapkan sebenarnya buruh tidak mendapat upah sesuai UMK termasuk tindak pidana. Jika omzetnya perusahaannya tinggi, yaitu melebihi Rp 2 miliar. Maka perusahaan tersebut wajib membayar karyawannya berdasar UMK
"Kalau perusahaannya seperti itu, buruh bisa melapor ke Dinas Ketenagakerjaan, lalu dinas mengeluarkan surat perintah pembayaran. Buruh juga bisa menggugat secara perdata di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)," jabarnya.
Hanya saja, sering kali penegak hukum tidak bertindak adil kepada buruh. Serta perusahaan yang sering beralasan tidak mampu membayar UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten)
Maka dari itu, LBH Surabaya berharap pemerintah saat ini dapat merevisi UU Ciptaker, karena ia menilai UU tersebut sebagai akar masalah. Di mana perusahaan bebas memecat karyawan tetap lalu merekrut karyawan kontrak.
"Termasuk UMK yang kerap ditetapkan tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak di tengah, kenaikan bahan-bahan pokok saat ini," pungkasnya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: