Cerita Diapora oleh Yunaz Karaman (4): Setahun Berbahasa bersama Hoca

Yunaz Karaman dengan sesama mahasiswa kelas bahasa berfoto satu hari dalam musim dingin datang.--
Dalam istilah saya, tak kenal budaya kalau tak kenal bahasa. Maka, sebagai penerima beasiswa Turkiye Burslari Scholarship saya diwajibkan mengikuti kelas bahasa Turkiye selama satu tahun. Kelas itu memberi tahu saya bahwa bahasa mengajarkan lebih dari sekadar kata.
Setiap kampus di Turkiye memiliki lembaga pengajaran bahasa Turkiye yaitu TÖMER atau singkatan dari Türkçe Öğretim Merkezi. Saya mengikuti kelas bahasa di kampus di tempat saya menerima beasiswa, di Nevşehir Hacı Bektaş Veli University (NEVÜ). Hanya beberapa yang diselenggarakan di kampus lain.
Di Indonesia, lembaga TÖMER itu seperti BIAPA atau Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing begitulah. Keduanya memiliki tujuan yang sama. TÖMER dirancang untuk mengajarkan bahasa Turkiye kepada orang-orang yang bukan penutur asli, baik untuk tujuan akademik, profesional, diplomatik, maupun budaya.
Saya mengikuti kelas ini secara gratis selama setahun hingga tingkat lanjutan C2 (bahasa Turkiye akademik). Terdapat 6 tingkatan yakni A1, A2, B1, B2, dan C1. Selanjutnya ada tingkatan lagi yaitu level bahasa akademik. Level tersebut merupakan tingkatan reguler yang harus ditempuh selama satu tahun lamanya.
Yunaz Karaman berswafoto dengan teman kelas bahasanya dalam berbagai kesempatan.--
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh Yunaz Karaman (6): Cappadocia di Depan Mata
Pada seri pertama saya bercerita bahwa saat saya pertama sampai di kampus NEVÜ saya mengalami kendala bahasa. Sesama teman asrama saja susah karena tidak semua lancar berbahasa Inggris. Sementara saya sama sekali tidak mengerti bahasa Turkiye.
Meskipun sebelum berangkat ke sini saya pernah mengikuti kelas Zoom Meeting belajar bahasa Turkiye tapi kemampuan berbahasa Turkiye saya masih sangat terbatas. Siasatnya, saya menggunakan gawai sebagai “jembatan” saat pertama saya sampai di sini. Mulai dari membeli nomor HP baru, ke toko kelontong, atau sekadar berbicara dengan teman sekamar.
Kendala ini mengharuskan saya belajar dan mencoba praktik berbicara baik dengan teman kelas dan teman sekamar. Bahkan sesama mahasiswa internasional lainnya seperti dari Republik Demokratik Kongo karena bahasa ibu mereka bahasa Prancis. Maklum banget kalau kami berbahasa Turkiye dengan sangat terbata-bata.
Yunaz Karaman berswafoto dengan teman kelas bahasanya dalam berbagai kesempatan.--
BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (5): Penonton Kehidupan di Atas Pedal
Dalam kelas bahasa di kampus, ada dua dosen yang bergantian mengajar setiap pekannya. Dilek Kocayanak Hoca dan Eyüp Can Ekinci Hoca. Hoca di belakang nama itu bukan nama melainkan sebutan untuk guru atau yang dituakan atau dihormati. Kelas dimulai pukul 09.00 TRT (waktu Turkiye) hingga pukul 14.00 TRT. Dalam satu kelas terdapat kurang dari 30 mahasiswa.
Mereka bukan para penerima beasiswa saja. Ada ibu rumah tangga yang menikah dengan orang Turkiye dan pekerja asing. Mereka semua berasal dari berbagai negara. Mulai dari Rusia, Amerika, Afghanistan, Mesir, Kongo, Angola, Madagaskar, Iran, Thailand, dan negara lainnya.
Pertama kali menerima pelarajan, rasanya sangatlah sulit. Sebab saya perlu menerjemahkan materi apa yang dijelaskan oleh dosen. Jadi kami belajar bahasa Turkiye dengan dosen yang menggunakan bahasa Turkiye pula. Bingung, bukan.
Yunaz Karaman bersama dosen bahasa Turkiye, Dilek Kocayanak Hoca--
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: yunaz karaman