Cerita Diapora oleh Yunaz Karaman (4): Setahun Berbahasa bersama Hoca

Cerita Diapora oleh Yunaz Karaman (4): Setahun Berbahasa bersama Hoca

Yunaz Karaman dengan sesama mahasiswa kelas bahasa berfoto satu hari dalam musim dingin datang.--

BACA JUGA:Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (6): Bertualang Menjelajah Paris di Bawah Tanah

Namun, kini perlahan saya memahami dengan tidak hanya belajar dari buku, juga melihat film dan mendengarkan musik beserta transkripsinya. Bahasa Turkiye menurut saya memiliki keunikan tersendiri. Sebab dalam aturan bahasanya menerapkan harmoni vokal dalam kata-katanya. 

Vokal dalam kata harus serasi dan mempengaruhi bentuk akhiran yang digunakan. Contohnya Kitap (Buku) menjadi Kitaplar (buku-buku), Gül (mawar) menjadi Güller (mawar-mawar). Terlihat perbedaannya jika terdapat akhiran “-a” maka untuk bentuk jamak menggunakan “-lar” dan akhiran “-ü” menggunakan “-ler”. 

Struktur kalimat dalam bahasa Turkiye memiliki karakteristik yang unik. Pada kata benda dalam bahasa Turkiye tidak memiliki ”jenis kelamin” (feminin/maskulin/netral). Jadi hanya menggunakan kata tunggal yakni “O” yang berarti dia (he/she/it) dalam bahasa Inggris. 

BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (1): Gurihnya Merintis Jualan Tempe di Inggris

Satu kata dalam bahasa Turkiye memiliki arti yang kompleks dan ditulis dalam bentuk yang panjang contohnya Gidebilirim (Saya mungkin bisa pergi). Satu kata itu adalah gabungan dari Git(d)-e-bil-ir-im, Git (pergi), -e- (penghubung vokal), -bil (mungkin/bisa), -ir (bentuk waktu sekarang), -im (subjek orang pertama/saya).

Beberapa kosa kata dalam bahasa Turkiye banyak menyerap dari bahasa Arab, Persia, Prancis, dan Inggris. Beruntung, dalam bahasa Turkiye apa yang ditulis itulah yang diucapkan. Jadi saat hanya membaca tulisannya kita bisa membaca meski ada beberapa huruf yang berbeda pelafalannya. 

Alfabet dalam bahasa Turkiye memiliki 29 huruf dan yang membedakan di antaranya huruf Ç (dibaca ”C biasa”), Ş (dibaca ”sy”), Ğ (”ge” lembut tidak dibaca dengan jelas), I (dibaca ”E”), Ö (dibaca ”eu”), dan Ü (dibaca ”U” tebal). 


Yunaz Karaman bersama dosen bahasa Turkiye, Eyüp Can Ekinci Hoca. --

BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job

Dengan kelas itu, saya memahami jika belajar bahasa, kita dapat mempelajari budaya dan pemikiran sebuah bangsa. Bukan hanya menjadi alat komunikasi semata. Tetapi lebih jauh lagi kita dapat menyelami budaya dan pemikiran suatu bangsa. 

Seorang ahli linguistik dan filsuf dari Jerman Wilhelm von Humbolt mengatakan bahwa bahasa adalah bentuk ekspresi pikiran yang dalam dan setiap bahasa mencerminkan pendangan dunia dari pemiliknya (penuturnya).

Belajar bahasa baru merupakan tantangan yang unik. Saya merasakan tidak hanya soal menghafal kosakata atau tata bahasanya tapi bisa mengerti bagaimana orang Turkiye mengeksresikan dan memaknai rasa senang, sedih, cinta, kehidupan, hingga kematian. Tentu semuanya saling terkait satu sama lainnya dan sangat kompleks terkait adat, kebiasaan, dan kehidupan sehari-hari. 

BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Marisa Tania (1): Ketika Hidup Tak Lurus-Lurus Saja, Dari Surabaya ke Silicon Valley

Jadi, belajar bahasa di sini bukan hanya sebagai formalitas. Tetapi sesungguhnya kita bisa merasakan terbuka dalam keberagaman, empati, dan tentunya jembatan pertukaran budaya serta pikiran antarbangsa. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: yunaz karaman