Cerita Diaspora oleh Yunaz Karaman (2): Berburu Selera ke Goreme

Cerita Diaspora oleh Yunaz Karaman (2): Berburu Selera ke Goreme

Yunaz Karaman foto bersama istrinya yang mengunjunginya pada November 2024--

Beradaptasi sudah jadi keharusan bagi diaspora agar bertahan hidup. Pun saya sebagai mahasiswa pascasarjana di Nevsehir. Setidaknya ada dua hal terbesar yang harus ditaklukkan.

Oktober 2024 adalah titik awal saya melangkahkan kaki di pusat Cappadocia, Nevsehir. Semua hal adalah baru. Misalnya, tidak ada teman seangkatan dari Indonesia. Bahkan selama hampir lima tahun ke belakang, total hanya ada tiga mahasiswa Indonesia di kampus.

Itulah awal perantauan yang harus saya mulai. Sekali layar terkembang, surut berpantang. Begitulah kira-kira. Bagaimana nggak. Kurangnya kawan dari Indonesia menyebabkan saya kesulitan pada awal mengurus segala hal di kampus. Seperti pada daftar ulang dan mendaftar di asrama.

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (3): Jurnalis di Ujung Runway


Bersama teman asrama dan mahasiswa internasional saat merayakan turunnya salju di musim dingin, tak jauh di depan asrama.--

Untung saya bersama teman dari Mesir, Muhammad Elgizawy, memiliki kawan dan sudah lancar berbahasa Turkiye. Meskipun Cappadocia adalah pusat wisata tapi tidak banyak yang lancar berbahasa Inggris loh.

Apa boleh buat, satu satu proses di awal saya nikmati dan lalui, meski keterbatasan bahasa. Hari-hari berikutnya saya tidak langsung masuk kuliah dan menerima materi. Tapi semua penerima beasiswa diwajibkan mengikuti kelas bahasa Turkiye selama satu tahun.

Sebelum dimulai kelas bahasa, saya suka menghabiskan waktu bersama teman internasional lainnya. Ada yang dari Pakistan, Mesir, Madagaskar, Angola, Nigeria, Rusia dan Thailand. Kami sering bersama-sama ketika berjalan ke pusat kota. Kadang hanya nongkrong sekadar bercerita pengalaman selama proses mendapatkan beasiswa.

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Marisa Tania (4): Beyond the Runway; Cerita dari San Francisco


Suasana asrama yang bisa dilihat dari jendela kamar Yunaz Karaman.--

Saya tinggal di asrama dari pemerintah yang lokasinya berada di dalam kampus. Jaraknya tidak jauh dari perpustakaan. Kira-kira hanya butuh 10 menit jika berjalan ke kelas.

Kamar yang disediakan di asrama ini cukup bagus. Baik dalam pengelolaan dan kondisinya yang cukup bersih. Tersedia wifi, air panas, lemari pakaian, musala, dan kantin. Saya tinggal bersama empat kawan yang semua berasal dari Turkiye.

Jadi hanya saya mahasiswa asing di kamar tersebut. Lagi-lagi komunikasi dan bahasa menjadi permasalahan. Sebab hanya salah seorang dari mereka yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (5): Penonton Kehidupan di Atas Pedal

Tapi ada manfaatnya kok tinggal bersama teman asli Turkiye, yakni sekaligus belajar praktik berbicara bahasa. Itulah yang saya rasakan meskipun masih terbata-bata. Tapi setidaknya ada satu dua kata baru setiap hari.

Pertemanan dengan mereka juga berjalan baik hingga saat ini. Kami sering berbagi makanan. Mereka saya beri jahe dan bubuk cabe dari Indonesia.
Jatah makanan dari asrama berupa nasi, daging cincang, dan sup jagung serta air mineral.--

Menikmati Proses Adaptasi

Tinggal selama 27 tahun di negara tropis tentu membuat saya harus beradaptasi dengan suhu dan negara empat musim ini. Dari Batu saya membawa jaket tebal dan beberapa pakaian yang menunjang di saat musim dingin.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (6): Bertualang Menjelajah Paris di Bawah Tanah

Apalagi saya datang pada akhir tahun yang disusul musim dingin tak lama kemudian. Saat datang pertama kali, Nevsehir sedang musim gugur. Namun, suhunya sudah terasa dingin buat saya.

Belasan derajat Celcius saat siang, di bawah sepuluh derajat Celcius saat malam. Untung di setiap kamar terdapat penghangat ruangan jadi cuaca bisa terkondisikan.

Selain cuaca, adaptasi yang berat berikutnya adalah masalah perut. Makanan di Turkiye sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Roti selalu disandingkan ketika kami makan. Sebagai penghuni asrama, kami mendapat jatah dua kali makan gratis.


Makan gratis yang diberikan asrama dua kali sehari dengan menu-menu yang sudah dihitung nilai gizinya.--

Kebijakan itu memang program pemerintah Turkiye. Jadi, seluruh asrama dikelola dengan cara yang sama. Menunya sudah ditakar kadar gizinya. Namun, balik lagi tentang masalah lidah wong Jowo yang membuat saya tetap tak terbiasa dengan masakan Turkiye. Sampai sekarang.

BACA JUGA: Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job

Dari Indonesia, saya sebenarnya sudah membawa pasokan makanan seperti bubuk cabe, mi instan, abon, ikan teri dan makanan kering lainnya. Itu sedikit membuat lidah saya bisa berbaur dengan makanan di sini. Namun, pasokan itu ya tetap tidak cukup untuk waktu yang lama.
Bersama teman asrama dan mahasiswa internasional saat merayakan turunnya salju di musim dingin, tak jauh di depan asrama.--Yunaz Karaman

Karena itu ketika istri saya -Ainun Tungga Dewi- bersama kakak ipar mengunjungi saya pada awal November 2024, saya minta mereka membawakan makanan, jajanan ringan, dan minuman sachet.

Bekal itulah yang saya bawa ke mana pun. Seperti saus sambal dan Boncabe yang selalu ada di dalam tas. Sewaktu-waktu bisa saya taburkan ke makanan yang disediakan asrama.

Menunya kadang daging cincang, nasi, sup jagung, dengan dessert yogurt yang dicampur semacam timun. Sebenarnya saya tak terlalu selera tetapi asal ada yang masuklah, hehehe.

BACA JUGA: Cerita Diaspora oleh I.G.A.K. Satrya Wibawa (4): Harus Ngebut, Bisa Nyebrang


Restoran Malaysia di Göreme yang seolah menjadi “penyelamat urusan perut” karena menyediakan makanan yang mirip di Indonesia.--

Urusan perut Indonesia sedikit teratasi ketika saya bisa pergi ke Göreme. Sebuah kota kecil di Provinsi Nevsehir. Di sana, saya menemukan makanan enak di sebuah restoran Malaysia. Ternyata banyak mahasiswa dan pekerja dari Indonesia yang makan di situ.

Lumayan, menunya seperti di Indonesia. Ada nasi goreng, mi goreng, nasi lemak, hingga ayam geprek. Sejak tahu restoran itu, setidaknya seminggu sekali saya ke sana untuk ”mengobati” lidah saya dengan cita rasa lokal seperti di rumah. (*)


Yunaz Karaman--

*) Mahasiswa Pascasarjana di Nevsehir Haci Bektas Veli University, Turkiye

Indeks: Bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup. Baca besok…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: yunaz karaman