Otak Busuk, Politik Busuk
ILUSTRASI Otak Busuk, Politik Busuk.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Francis Fukuyama mengamati adanya fenomena pembusukan politik di negara-negara demokrasi dunia. Menurutnya, lembaga-lembaga politik modern justru tengah mengalami ”pembusukan demokrasi”.
Fukuyama melihat fenomena itu terjadi di Amerika Serikat (AS), negara kampiun demokrasi.
Fukuyama melihat lembaga-lembaga di AS tengah membusuk karena negara tersebut terperangkap oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi diri sendiri.
Fukuyama melihat Donald Trump adalah produk sekaligus kontributor pembusukan tersebut. Gelombang demokratisasi yang menerpa seluruh dunia pasca-Perang Dunia Kedua sekarang mulai menunjukkan gejala arus balik.
Demokrasi yang diharapkan menjadi matang ternyata kebablasan menjadi busuk. Fukuyama juga memberikan perhatian khusus terhadap persoalan identitas dan politik identitas yang begitu sulit direkonsiliasi. Dengan begitu, perpecahan dan polarisasi masyarakat menjadi tidak terhindarkan.
Nilai dasar demokrasi liberal untuk menciptakan kesetaraan bagi setiap individu, politik identitas adalah batu besar yang mengganjal tujuan tersebut. Multikulturalisme telah menjadi kekuatan yang justru merekatkan AS menjadi melting pot yang menampung semua kebinekaan.
Persoalan identitas itu makin diruncingkan dengan kehadiran internet. Teknologi tersebut telah memfasilitasi fragmentasi sosial yang tidak terkendali karena menjadi platform bagi masyarakat untuk membentuk kelompok sesuai dengan identitasnya.
Kemenangan Trump menjadi indikasi makin kuatnya politik identitas di AS. Program MAGA (Make America Great Again) adalah upaya Trump untuk mengembalikan white supremacy, ’supermasi golongan putih’, yang bisa merusak harmoni multikultural AS.
Program MAGA memberikan justifikasi kepada Trump untuk merebut wilayah sekitarnya, seperti Selat Panama dan wilayah Greenland di Kanada. Politik megalomania ala Trump itu akan membuat politik AS membusuk.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Pagar laut misterius itu menjadi indikator dugaan motif kepentingan ekonomi politik. Sebab, banyak pelaku bisnis yang bekerja di wilayah laut dan memiliki hubungan yang kuat dengan para politikus.
Mahalnya ongkos politik memberikan kesempatan kepada pengusaha menjadi sponsor bagi politisi yang hendak duduk di parlemen daerah dan pusat, kepala daerah, hingga kepala negara.
Potensi ancaman konflik kultural menjadi hal laten di Indonesia. Kesenjangan ekonomi yang menganga bisa menjadi bahan bakar yang bisa menghanguskan bangun kebinekaan nasional.
Kasus reklamasi sudah menjadi isu pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 yang mempertemukan Anies Baswedan vs Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Anies yang memenangkan kontestasi berupaya menghentikan proyek raksasa itu.
Namun, sepeninggal Anies, proyek tersebut makin besar dan malah mendapatkan legitimasi sebagai proyek strategis nasional (PSN). Dengan kedok itu, para pengusaha rakus mendapat licence to kill, bisa menggusur tanah rakyat, dan membayar ”ganti rugi” yang benar-benar merugikan.
Ada kecurigaan terjadinya ”ijon politik” oleh Jokowi kepada para pemodal. Mereka diminta untuk berinvestasi di IKN (Ibu Kota Nusantara). Sebagai imbalan, para investor itu mendapat hadiah PSN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: