Tantangan Indonesia setelah Gabung BRICS

Tantangan Indonesia  setelah Gabung BRICS

ILUSTRASI Tantangan Indonesia setelah Gabung BRICS.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

INDONESIA baru saja menjadi anggota resmi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa/Afrika Selatan), kelompok negara besar yang memiliki pengaruh signifikan dalam perekonomian global

Indonesia, dengan segala keragamannya, bisa dipandang melalui lensa Hegelian sebagai negara yang sedang melalui proses dialektika: realitas ekonomi dan geopolitik yang lebih besar mulai terwujud melalui integrasi dengan negara-negara besar lainnya. 

Keanggotaan dalam BRICS memberi Indonesia kesempatan untuk mencapai kebebasan dan kemandirian ekonomi melalui kerja sama internasional. Juga, menunjukkan bahwa Indonesia mampu beradaptasi dan berkembang dalam sistem global yang lebih kompleks. 

BACA JUGA:BRICS dan Reorientasi Arah Kebijakan Pasar Ekspor

BACA JUGA:Deklarasi Kazan: Rivalitas Hegemoni Ekonomi BRICS versus G-7?

Upaya diplomatik tersebut tentu saja membawa harapan besar bagi Indonesia, baik dalam segi ekonomi, geopolitik, maupun pembangunan sosial. Namun, di balik prospek tersebut, kita perlu mengkaji dampak masuknya Indonesia ke BRICS kaitannya dengan kemajuan suatu bangsa.

MEMBANGUN RASA PERCAYA DIRI NASIONAL

Secara psikologi, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS dapat dianggap sebagai bentuk validasi internasional atas posisi dan potensi Indonesia di kancah global. Hal itu memberikan dampak signifikan pada rasa percaya diri nasional. 

Negara yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih mapan secara ekonomi di dunia akhirnya mengakui Indonesia sebagai mitra penting. 

BACA JUGA:Sat-set, BRICS

BACA JUGA:Indonesia Resmi Jadi Mitra BRICS Bersama 12 Negara Mitra Baru Lainnya

Hal itu bisa menumbuhkan rasa optimisme yang lebih besar di kalangan masyarakat dan pemerintah, yang pada gilirannya dapat mempercepat implementasi berbagai kebijakan strategis.

Namun, dalam konteks itu, kita juga perlu berhati-hati agar euforia tersebut tidak mengarah pada sikap euforia berlebihan (hubris). Bangsa ini perlu memastikan bahwa kebanggaan yang timbul dari keanggotaan di BRICS tidak menghambat proses introspeksi dan perbaikan diri. 

Ada risiko ketika negara merasa sudah ”diakui” oleh kekuatan besar, upaya untuk memperbaiki kelemahan internal –baik dalam hal tata kelola pemerintahan, pemberantasan korupsi, maupun pemenuhan hak-hak sosial ekonomi– justru bisa terabaikan. Oleh karena itu, psikologi kolektif tersebut harus seimbang antara rasa percaya diri dengan sikap rendah hati yang terus mendorong perbaikan diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: