Haul Gus Dur Ke-15: Budaya Moderasi
ILUSTRASI Haul Gus Dur Ke-15: Budaya Moderasi.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Gus Ipul Resmikan Kampung Moderasi Beragama Kota Pasuruan
BACA JUGA:Usung Moderasi Beragama, Kuatkan Nasionalisme
Ada yang unik. Dalam rangkaian acara, tampil kelompok musik dari Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Waru, Sidoarjo. Kelompok musik yang menggabungkan musik tradisi dan modern. Semacam kelompok musik Kiai Kanjeng yang didirikan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun.
Kelompok musik itu membawakan tiga lagu. Di antaranya, lagu Yalal Wathan, syair ke-Indonesia-an yang diciptakan salah seorang pendiri NU, KH A. Wahab Chasbullah. Juga, membawakan salawat. Keren.
Sungguh, itu peristiwa yang mencerminkan ke-Indonesia-an. Yang menjadikan manusia dihormati sebagai manusia. Bukan atas dasar keyakinan dan status sosialnya. Kumpulan manusia yang saling menghormati keyakinan masing-masing.
Agama dalam kumpulan itu bukan sebagai identitas. Tapi, sebagai nilai yang menjadi landasan bagi individu-individu dalam menjalani kehidupannnya. Nilai kebaikan yang tecermin dalam tingkah laku keseharian. Bukan benih dari kebencian antara satu dengan lainnya.
Dalam bahasa kekinian, Gus Dur bisa dianggap sebagai Bapak Moderasi. Yang memoderatkan cara beragama. Tidak hanya dalam wacana, tapi dalam kehidupan keseharian. Yang sebetulnya sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Yang bersatu dalam keanekaragaman.
Imajinasi Gus Dur tentang keberagaman telah bersemi dan tumbuh di Surabaya. Tidak hanya dalam relasi antarkelompok dan penganut keyakinan. Tapi, juga mewujud dalam infrastruktur di perkotaan. Misalnya, fasilitas perumahan.
Di Surabaya Barat, misalnya. Ada pengembang yang membangun sejumlah tempat ibadah dari berbagai agama dalam satu kompleks perumahannya. Kawasan perumahan elite lagi. Kawasan itu adalah Royal Residence.
Mereka membangun masjid, gereja, pura, dan kelenteng dalam satu kawasan. Berjejer dan berdampingan. Dulu di sebagian besar mal di Kota Surabaya ada gerejanya. Kini dalam satu lantai bisa ada masjid dan gereja.
Bagaimana spirit keberagaman dan keberagamaan seperti itu bisa mewujud di Surabaya? Inisitif seperti itu tak mungkin bisa lahir dari masyarakat yang sudah memiliki akar kuat dalam keberagaman. Bisa saja, posisinya sebagai kota perdagangan menjadi awal mulanya.
Setiap kota perdagangan selalu melahirkan keberagaman. Bahkan, menjadi jabang bayi dari sebuah kota yang kosmopolitan. Pusat pertukaran barang itu selalu juga menjadi pusat pertukaran kebudayaan. Menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai latar belakang.
Di kota itu komunitas Tionghoa, Arab, Melayu, dan berbagai etnis dari seluruh Indonesia bekerja sama. Tidak pernah ada konflik yang memicu perpecahan antar mereka.
Di kota tersebut komunitas Tionghoa dan Madura menjadi kongsi bisnis yang saling menopang. Madura berjualan soto, Tionghoa mejual minuman di satu tempat.
Masjid Cheng Hoo yang bergaya arsitektur Tionghoa kali pertema berdiri di kota itu. Sampai kemudian kini sudah berkembang menjadi 16 di seluruh Indonesia. Masjid tersebut diinisiasi dan dirikan seorang mualaf Tionghoa bimbangan Gus Dur. Bambang Sujanto namanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: