Menilik Ketegangan Perdagangan Tiongkok-AS di Era Trump 2.0

Menilik Ketegangan Perdagangan Tiongkok-AS di Era Trump 2.0

RIBUAN KONTAINER mengantre untuk diangkut pada kapal-kapal di Pelabuhan Qingdao, Provinsi Shandong, 25 Januari 2025. --

BACA JUGA:AI DeepSeek Geser ChatGPT, Inovasi Tiongkok yang Menuai Pro dan Kontra!

BACA JUGA:DeepSeek Didukung Pemerintah Tiongkok, Pukulan Berat Bagi Nvidia

Tiongkok pun menerapkan tarif balasan pada produk AS. Kebijakan itu berdampak buruk pada petani AS.

Tuntutan utama AS ketika itu adalah akses yang lebih luas ke pasar Tiongkok. Mereka juga ingin ada reformasi besar terhadap persaingan bisnis yang dinilai menguntungkan perusahaan Tiongkok. Lebih jauh, Trump ingin Beijing melonggarkan kendali negara yang sangat ketat.

Setelah negosiasi panjang dan penuh ketegangan, kedua belah pihak mencapai kesepakatan "fase satu". Itulah ’’gencatan senjata’’ dalam perang dagang yang berlangsung hampir dua tahun tersebut.

Di bawah kesepakatan itu, Tiongkok setuju mengimpor barang AS senilai miliaran dolar, termasuk di antaranya produk produk pertanian dan makanan laut.

Namun, akibat pandemi Covid-19 dan resesi AS, Tiongkok gagal memenuhi komitmen tersebut.

"Pada akhirnya, Tiongkok hanya membeli 58 persen dari ekspor AS yang dijanjikan dalam kesepakatan. Itu bahkan tidak cukup untuk mencapai tingkat impor sebelum perang dagang," tulis Chad P. Brown dari PIIE.


Presiden Xi Jinping.--

"Dengan kata lain, Tiongkok tidak membeli tambahan ekspor yang dijanjikan dalam kesepakatan dengan Trump," tambahnya.

Perang dagang AS-Tiongkok tidak begitu sengit di bawah pemerintahan Joe Biden. Presiden ke-46 AS itu memang tidak membatalkan kenaikan tarif yang menjadi kebijakan Trump. Biden memilih pendekatan selektif dalam pemberlakuan tarif.

Di bawah Biden, Washington memperluas upaya membatasi ekspor chip canggih ke Tiongkok. Mereka mengatakan bahwa itulah strategi mencegah teknologi sensitif AS digunakan dalam militer Beijing.

Biden juga menerapkan tarif untuk menekan ’’kelebihan kapasitas industri Tiongkok.’’ Sebab, AS khawatir bahwa subsidi industri Tiongkok untuk energi hijau, mobil, dan baterai dapat membanjiri pasar global dengan barang murah.

Pada Mei 2024, Biden menetapkan tarif pada impor China senilai USD 18 miliar. Ia menuduh Beijing "berbuat curang" alih-alih bersaing.

Kenaikan itu mencakup peningkatan tarif mobil listrik hingga empat kali lipat menjadi 100 persen, serta kenaikan tarif semikonduktor dari 25 persen menjadi 50 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: