Membedah Film Horor yang Laris Manis di Indonesia

Mengapa Film Horor Laris di Indonesia?-Poe-Poe
BACA JUGA:Sudah Tayang! Sinopsis Nosferatu, Horor Gothic Calon Film Terseram 2025
BACA JUGA:7 Film Horor yang Tayang Januari 2025, Wajib Masuk Watchlist!
Kepuasan Emosional dan Elemen Budaya
Selain daya tarik psikologis, kepuasan emosional menjadi faktor penting dalam menarik minat penonton terhadap film horor. Kepuasan ini dapat muncul dari keterikatan dengan karakter dan proses pelepasan ketegangan emosional.
Ketika penonton menyaksikan karakter berjuang melawan ancaman, mereka cenderung membangun empati. Tokoh yang menghadapi kengerian, seperti dalam The Conjuring (2013, 2016, 2021) atau A Quiet Place (2018), membuat penonton merasa terhubung secara emosional dengan perjuangan yang dialami tokoh utama. Hal ini memperkuat efek emosional dari setiap ketegangan yang muncul di layar.
Dalam konteks Indonesia, unsur budaya dan kepercayaan mistis turut memengaruhi daya tarik film horor. Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia (1977) menjelaskan, masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan yang kuat pada hal-hal gaib dan cenderung memiliki pola pikir simbolis.
Banyak film horor Indonesia seperti Saranjana (2023) atau KKN di Desa Penari (2022) memanfaatkan mitos dan legenda lokal, seperti kuntilanak, pocong, atau sundel bolong, yang sudah akrab dalam percakapan di antara anggota masyarakat.
Film horor lokal tidak hanya menampilkan cerita tentang teror, tetapi juga merefleksikan ketegangan antara teror gaib dan modernitas (psikologi), misalnya Utusan Iblis (2025). Kepercayaan terhadap dunia mistik sering kali dihadirkan dalam bentuk konfrontasi antara ilmu pengetahuan modern dengan kekuatan gaib.
Ada juga film lain yang memperlihatkan kritik terhadap praktik perdukunan yang irasional, memperkuat peran horor sebagai cermin nilai-nilai sosial yang berakar dalam masyarakat.
Kritik terhadap Film Horor yang Nir-Nilai dan Desakralisasi
Meskipun film horor memiliki potensi besar sebagai sarana refleksi sosial yang baik, sayangnya, banyak di antaranya justru terjebak dalam eksploitasi visual yang berlebihan.
Beberapa film modern cenderung terlalu mengandalkan efek kejutan (jump scare) dan kekerasan grafis semata, tanpa menghadirkan pesan mendalam yang dapat menggugah emosi atau menginspirasi pemikiran penonton secara lebih mendalam.
Di makalah Desakralisasi Film Horor Indonesia dalam Kajian Reception Analysis oleh Yohana Debby, Theresia Intan, dan Nanang Krisdinanto, dijelaskan bahwa film horor Indonesia pasca-Orde Baru cenderung menampilkan desakralisasi elemen religius.
Pengurangan makna sakral terlihat dalam penggambaran tokoh agama yang tidak berdaya melawan kekuatan gaib atau ritual keagamaan yang terganggu oleh makhluk supranatural. Hal ini dapat mereduksi makna simbol religius menjadi sekadar estetika tanpa makna spiritual yang selayaknya.
Desakralisasi semacam ini berisiko mereduksi potensi film horor sebagai medium reflektif yang mampu menggugah kesadaran moral. Film horor idealnya tidak hanya menyajikan ketakutan visual, tetapi juga mendorong perenungan mendalam tentang nilai spiritual, keberanian, dan makna kehidupan.
Hingga hari ini, film horor tetap menjadi salah satu genre paling populer di Indonesia berkat kemampuannya memicu “ketegangan yang aman,” memberikan kepuasan emosional, serta menggali elemen budaya yang ada dalam masyarakat.
Bahkan, lebih dari sekadar hiburan, keberhasilan genre ini turut memberi kesejahteraan bagi banyak pekerja di industri kreatif, sebuah pencapaian yang patut diapresiasi dan disyukuri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: