Keterwakilan Perempuan bila Pilkada Tak Langsung

Keterwakilan Perempuan bila Pilkada Tak Langsung

ILUSTRASI Keterwakilan Perempuan bila Pilkada Tak Langsung.-Arya-Harian Disway-

Akibatnya, kekuasaan menjadi sangat sentralistis dan pada akhirnya model itu akan mereduksi kompetisi yang demokratis. Bahkan, pilkada langsung akan mempromosikan keterikatan warga negara dan menjamin pemimpin daerah untuk mewakili kepentingan rakyat daerahnya.

IMPLIKASI PILKADA BAGI KETERWAKILAN PEREMPUAN

Reseptivitas pemilih terhadap perempuan sebagai kepala daerah cukup baik jika melihat pada fakta empiris keterpilihan dan keterwakilan perempuan sebesar 30,8 persen sebagai kepala daerah. Artinya, masyarakat kini mulai bisa menerima kepemimpinan politik perempuan di tingkat lokal. 

Akan tetapi, tampaknya, sebagian elite partai politik mulai berpikir untuk mengubah sistem pilkada dari yang langsung ke tidak langsung.

Apabila pilkada tidak langsung diberlakukan kembali sebagaimana pada masa sebelum 2005, banyak implikasi yang ditimbulkan, khususnya bagi keterwakilan perempuan. 

Pertama, kurangnya pengaruh publik. Sebab, pemilihan langsung memungkinkan pemilih untuk mendukung perempuan calon kepala daerah. 

Sistem pemilihan tak langsung dapat membatasi input publik dan menjadikan lebih sulit bagi perempuan untuk menembus peran-peran kepemimpinan di tingkat lokal, bila gatekeeper-nya seperti norma seleksi dan tim seleksinya diisi sebagian besar jenis kelamin laki-laki dan memiliki pola pikir maskulin. 

Sampai saat ini, bagaimanapun, partai politik masih sangat maskulin dan dianggap sebagai arena yang elitis, yang notabene banyak dikuasai laki-laki. Akibatnya, partai –sebagai jalan masuk bagi perempuan– akan lebih sulit ditembus kelompok perempuan. 

Arena politik di partai politik kian sempit dan terbatas bagi perempuan ketika terjadi proses transaksi antarpartai di parlemen dalam pengusungan dan kesepakatan tentang siapa calon yang diajukan, apalagi ketika terbangun koalisi partai di dalam parlemen. 

Kedua, elite atau kontrol partai. Bila seleksi dikembalikan kepada sekelompok kecil elite pembuat kebijakan, yang mungkin saja lebih menyukai kandidat yang beraliansi dengan struktur kekuatan tradisional, yang jelas-jelas tidak menguntungkan bagi perempuan terkait dengan bias dan jaringan politik yang secara historis didominasi laki-laki. Akibatnya perempuan akan dikeluarkan dalam seleksi di level elit parrtai.

Ketiga, jabatan yang dipilih melalui pemilihan langsung lebih akuntabel kepada publik sehingga dapat menekan mereka yang terpilih untuk mempertimbangkan kesetaraan gender. Sebaliknya, pemilihan tak langsung tidak terikat pada tanggung jawab untuk mempromosikan kesetaraan gender.

Keempat, dampak pada model peran. Sebab, lebih sedikit perempuan dalam posisi kepemimpinan akan lebih sedikit model peran dalam menginspirasi peran politisi, yang berpotensi menyurutkan keterikatan perempuan ke dalam politik pada level lokal.

Kelima, konsekuensi dari model peran adalah terepresentasinya perempuan ke dalam politik kekuasaan yang akan mendorong pada kebijakan yang diarahkan untuk isu-isu gender. Misalnya, pendidikan, kesehatan, hak perempuan. Jika perempuan lebih sedikit dalam kepemimpinan, isu tersebut akan menjadi kurang disuarakan dan dipertimbangkan dalam kebijakan.

Dengan demikian, model pemilu tidak langsung justru dapat memperkuat disparitas gender dalam representasi politik, yang membuat lebih menentang pada pencapaian posisi kepemimpinan di level lokal.

Berpijak pada perdebatan dan implikasi pilkada tak langsung terhadap keterwakilan perempuan, hendaknya para pengambil keputusan politik tetap berkomitmen pada upaya mengafirmasi kepentingan perempuan agar dapat menduduki posisi kepemimpinan. Buatlah kebijakan politik secara bijak. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: