Deflasi yang Dialami Indonesia pada 2025: Ketika Harga Jatuh tapi Ekonomi Tak Selalu Senang

Deflasi membuat harga barang turun, tapi benarkah selalu menguntungkan? -disway.id/cahyono-
HARIAN DISWAY – Dalam 25 tahun terakhir, Indonesia baru mengalami defalsi pada 2025 ini. Deflasi ini cukup signifikan karena terjadi setelah 25 tahun tidak mengalami deflasi tahunan.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab deflasi di Indonesia antara lain penurunan daya beli masyarakat, penurunan harga komoditas, dan diskon tarif listrik yang diberikan pemerintah.
Jika Anda ingin tahu apakah itu deflasi, pernahkah Anda merasa harga barang-barang di sekitar tiba-tiba turun? Mungkin terdengar menguntungkan bagi dompet, tapi bagi ekonomi, cerita bisa jauh lebih rumit.
BACA JUGA:Januari 2025 Jatim Deflasi, Ini Faktor-Faktornya...
Ya, fenomena seperti itulah yang disebut deflasi. Bukan hanya lawan dari inflasi, tetapi juga kondisi yang bisa membawa dampak besar, baik bagi masyarakat maupun negara.
Deflasi terjadi ketika harga barang dan jasa mengalami penurunan secara terus-menerus dalam periode tertentu. Beda dengan diskon akhir tahun atau promo harbolnas yang memang dirancang untuk menarik pelanggan, Deflasi mencerminkan penurunan daya beli dan permintaan dalam skala yang lebih besar.
Ketika harga turun, kesannya memang menyenangkan bagi konsumen. Harga sembako lebih murah, biaya hidup berkurang, dan orang-orang bisa menabung lebih banyak.
Turunnya harga sering dianggap kabar baik, tapi bisa menjadi tanda perlambatan ekonomi. --istockphoto
Tapi, di sisi lain, produsen dan perusahaan justru menghadapi masalah. Pendapatan mereka berkurang karena harga jual yang semakin rendah, sementara biaya produksi tetap. Akibatnya, mereka bisa memangkas tenaga kerja, menunda investasi, atau bahkan gulung tikar.
Deflasi bisa terjadi karena beberapa faktor. Salah satu pemicu utamanya adalah lemahnya permintaan. Ketika masyarakat memilih menunda konsumsi dengan harapan harga akan terus turun, roda ekonomi ikut melambat. Produksi menurun, pengusaha mengurangi tenaga kerja, dan angka pengangguran meningkat.
Faktor lain adalah kelebihan pasokan. Jika suatu industri memproduksi barang lebih banyak dari yang bisa diserap pasar, harga otomatis turun. Perkembangan teknologi yang membuat produksi lebih efisien juga bisa jadi penyebab. Barang yang dulunya mahal, kini bisa diproduksi dengan lebih murah, sehingga harga jual ikut merosot.
Dampak deflasi terasa dalam berbagai aspek. Pertama, daya beli masyarakat melemah, terutama bagi mereka yang memiliki utang. Saat deflasi terjadi, nilai uang meningkat, tetapi beban utang tetap. Hasilnya, individu dan perusahaan lebih sulit melunasi pinjaman mereka.
BACA JUGA: Intip Strategi Pemerintah Hadapi Deflasi
BACA JUGA: Kemenperin sebut Banjir Impor Jadi Penyebab Deflasi 5 Bulan Beruntun
Kedua, sektor usaha mengalami tekanan besar. Ketika harga barang turun, margin keuntungan menyusut. Beberapa bisnis mungkin bertahan, tetapi banyak yang akan merugi dan akhirnya terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Efek domino ini bisa menyebabkan resesi berkepanjangan.
Salah satu contoh nyata dampak deflasi bisa dilihat di Jepang pada tahun 1990-an. Setelah ekonomi Jepang mengalami ledakan besar di era 1980-an, pasar properti dan saham mereka jatuh drastis.
Hal ini menyebabkan stagnasi ekonomi selama hampir dua dekade, dikenal sebagai the lost decades. Bank of Japan mencoba mengatasi dengan menurunkan suku bunga dan melakukan berbagai stimulus ekonomi, tetapi pemulihannya tetap lambat.
Dari pengalaman Jepang, dunia belajar bahwa deflasi bisa lebih berbahaya daripada inflasi tinggi. Jika tidak ditangani dengan cepat, dampaknya bisa berkepanjangan, membuat masyarakat enggan berinvestasi dan ekonomi sulit bangkit kembali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: