RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur

RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur

ejumlah demonstran dari kalangan masyarakat sipil nekat berkemah di depan gedung DPR RI sebagai bentuk protes jelang pengesahan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025.-disway.id/Anisha Aprilia-


Riyadh Putuhena, Fungsionaris PB HMI 2024-2026.--

ADA satu aturan tak tertulis dalam sejarah politik Indonesia: setiap reformasi selangkah maju, puluhan langkah menyeretnya ke belakang. Kali ini langkah akksi mundur itu berwujud RUU TNI yang sangat potensial menghidupkan kembali dwifungsi TNI (dulu ABRI). 

RUU ini bukan sekadar revisi teknis. Ia adalah proyek politik yang akan membuka pintu bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Mulai dari kementerian hingga BUMN. Ini adalah rekayasa ulang tatanan sipil-militer yang selama lebih dari dua dekade terakhir sedang kita coba luruskan. Reformasi yang seharusnya menjamin supremasi sipil kini sedang diuji oleh gelombang militerisasi birokrasi. 

Militerisasi birokrasi sipil dan ancaman profesionalisme

Pendukung RUU TNI ini berdalih bahwa militer lebih disiplin, lebih cepat mengambil keputusan, dan lebih bersih dari korupsi dibanding birokrat sipil. Tapi apakah benar demikian?

Militer dan birokrasi sipil bekerja dengan logika yang berbeda. Di militer, keputusan diambil secara hierarkis dan dieksekusi tanpa debat. Struktur komando menuntut kepatuhan absolut—sebuah model yang efektif dan dibutuhkan dalam situasi tempur, tetapi tidak kompatibel dengan pemerintahan sipil yang membutuhkan mekanisme checks and balances

Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara dengan dominasi militer dalam birokrasi cenderung mengalami stagnasi kebijakan, karena otoritarianisme struktural tidak memberi ruang bagi inovasi dan partisipasi publik.

BACA JUGA:Puan Maharani Yakinkan Publik: RUU TNI Tak Langgar Hak Demokrasi

BACA JUGA:Menhan Sjafrie Sjamsoeddin Akui Pembahasan RUU TNI Berjalan Marathon

Mitos bahwa militer lebih kebal terhadap korupsi juga mudah dipatahkan. Transparency International dalam Government Defence Integrity Index (2020) menempatkan sektor pertahanan sebagai salah satu yang paling rentan terhadap korupsi di banyak negara, termasuk Indonesia. 

Kerahasiaan anggaran dan minimnya pengawasan publik menciptakan ruang gelap tempat praktik rente dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. Di dalam negeri, kita melihatnya dalam berbagai kasus, mulai dari skandal alutsista hingga bisnis ilegal di wilayah konflik. Mengapa kita masih percaya bahwa solusi bagi birokrasi yang korup adalah memasukkan aktor yang tidak lebih bersih?

Yang lebih berbahaya dari sekadar anggapan bahwa militer lebih unggul adalah kecenderungan untuk menjadikannya solusi atas kelemahan sipil. Birokrasi kita memang lemah, tetapi jawabannya bukan menggantinya dengan institusi yang tidak dirancang untuk itu. Reformasi birokrasi tidak bisa dicapai dengan mengganti aktor, tetapi dengan membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel.

RUU ini juga membawa risiko semakin banyak prajurit aktif yang diseret ke dalam urusan sipil. Artinya, semakin besar ancaman bagi profesionalisme militer itu sendiri. Militer yang kuat bukanlah militer yang bercokol di berbagai kementerian/lembaga atau mengelola proyek pangan. Militer yang kuat adalah yang terlatih dengan baik, memiliki kesiapan tempur yang tinggi, serta difokuskan pada pertahanan negara. Jika perwira aktif terus didorong ke luar barak untuk mengisi jabatan sipil, siapa yang akan memastikan kesiapan tempur mereka?

BACA JUGA:Wakil Ketua DPR Dasco Ahmad Tanggapi Aksi Demo Tolak RUU TNI di Depan Gedung DPR

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: