RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur

RUU TNI: Reformasi Mundur Teratur

ejumlah demonstran dari kalangan masyarakat sipil nekat berkemah di depan gedung DPR RI sebagai bentuk protes jelang pengesahan RUU TNI pada Kamis, 20 Maret 2025.-disway.id/Anisha Aprilia-

BACA JUGA:DPR Resmi Sahkan RUU TNI, Gerindra Jamin Supremasi Sipil Tetap Terjaga

Di Indonesia, dengan minimnya modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan kesejahteraan prajurit yang masih jauh dari ideal, seharusnya energi kita justru disalurkan untuk memperkuat angkatan bersenjata, bukan malah membebani mereka dengan tugas yang bukan ranahnya.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa semakin besar peran militer dalam politik, semakin rentan demokrasi suatu negara. Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) mencatat bahwa demokrasi melemah ketika institusi non-demokratis, seperti militer, mulai memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan politik. 

Samuel P. Huntington (1957) dalam Prajurit dan Negara menjelaskan bahwa hubungan sipil-militer yang sehat ditandai dengan supremasi sipil atas militer. Dalam pandangan Huntington, profesionalisme militer harus dijaga dalam ranah pertahanan negara, sementara kebijakan sipil harus tetap berada dalam kendali otoritas sipil yang dipilih secara demokratis.

Jika kita benar-benar peduli terhadap TNI, kita seharusnya tidak mendorong militer untuk masuk ke wilayah sipil. Yang perlu diperjuangkan adalah peningkatan kesejahteraan prajurit, modernisasi alutsista, serta perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan TNI agar lebih profesional dan siap menghadapi tantangan pertahanan yang sesungguhnya.

BACA JUGA:Gelombang Aksi Tolak RUU TNI Meningkat, 5.021 Personel Polisi Dikerahkan

BACA JUGA:Simak Poin-poin Krusial RUU TNI yang Diketok Jadi Undang-Undang!

Saat ini, banyak prajurit berpangkat rendah yang masih berjuang dengan gaji yang tidak sebanding dengan risiko yang mereka hadapi. Fasilitas perumahan bagi prajurit masih jauh dari layak, sementara anggaran pertahanan lebih sering tersedot ke proyek-proyek yang tidak langsung berdampak pada kesejahteraan mereka.

Alih-alih memikirkan cara menempatkan tentara dalam jabatan sipil, seharusnya yang dibahas dalam RUU TNI adalah bagaimana memastikan bahwa setiap prajurit mendapatkan pelatihan terbaik, perlengkapan terbaik, dan kehidupan yang layak selama dan setelah bertugas.

RUU TNI bukan fenomena yang berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari proyek besar politik kekuasaan. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak bahkan menyebut kritik terhadap pengangkatan perwira aktif di jabatan sipil sebagai sesuatu yang “kampungan.” Pernyataan ini bukan sekadar ekspresi arogansi, tetapi sinyal bahwa segerombol elit sipil-militer kini merasa cukup kuat untuk mendorong TNI kembali ke arena politik tanpa rasa bersalah.

Jika RUU ini disahkan, kita akan melihat pola ini semakin mengakar. Perwira aktif akan lebih mudah mengisi kursi-kursi strategis di pemerintahan dan supremasi sipil yang diperjuangkan sejak 1998 akan semakin terkikis. Reformasi yang dulu dijalankan dengan pengorbanan besar akan terpinggirkan oleh retorika tentang “efisiensi” dan “stabilitas.” Kita mungkin tidak akan kembali ke dwifungsi dalam bentuk yang persis sama, tetapi esensinya akan tetap sama: militer kembali menjadi aktor politik utama.

Demokrasi yang sehat berdiri di atas prinsip bahwa militer adalah alat negara, bukan bagian dari pemerintahan. RUU TNI melanggar prinsip ini, dan jika dibiarkan, ia akan menggerogoti fondasi yang menopang supremasi sipil. Kita tidak membutuhkan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Kita membutuhkan birokrasi yang transparan, akuntabel, dan tentara yang profesional—bukan birokrasi yang diselubungi hirarki komando dan minim pengawasan.

TNI harus kembali ke barak. Kita harus memastikan bahwa setiap prajurit dihormati atas tugasnya sebagai penjaga pertahanan negara, bukan diperalat untuk kepentingan politik sesaat. Jika RUU ini lolos kita tidak hanya kalah satu pertempuran, tetapi membuka jalan bagi kembalinya politik militerisme dalam skala yang lebih besar.

Reformasi bukan proyek sekali jadi. Ia dibangun sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah. Jika satu dekade terakhir kita menganggap reformasi telah dibegal secara paksa, sesungguhnya tidak. Dengan upaya menjustifikasi dwifungsi via undang-undang, reformasi sejatinya sedang dituntun mundur secara teratur. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: