Humor Nenengisme, Kritikan yang Sinisme

Humor Nenengisme, Kritikan yang Sinisme

ILUSTRASI Humor Nenengisme, Kritikan yang Sinisme.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”Comedy is simply a funny way of being serious.” – Peter Ustinov

DI ANTARA beranda Facebook yang dipenuhi perdebatan politik, unggahan makanan, dan nostalgia masa kecil, akun Facebook Neneng Rosdiyana muncul sebagai gelombang humor baru yang absurd, kemudian dikenal dengan istilah nenengisme

Menyoroti kehidupan petani perempuan dengan caption-caption yang satire. Fenomena itu bukan sekadar guyonan kosong, melainkan juga potret ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dengan sektor pertanian yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian. Ironisnya, petani justru menjadi salah satu kelompok yang paling terpinggirkan. 

BACA JUGA:5 Hal Menarik Film The Most Beautiful Girl in the World yang Membawa Penonton ke Dunia Romanda dan Humor

BACA JUGA:Baju dengan Sentuhan Humor

Nenengisme hadir sebagai parodi yang menggambarkan petani sebagai tokoh utama dalam narasi yang konyol, tetapi pedih. Seperti dalam salah satu unggahan Neneng yang berbunyi, 

Petani nanam, lintah darat senyum. Petani panen, tengkulak tepuk tangan. Pas petani ngeluh? Pemerintah bilang ’sabar ini ujian hidup’.” Betapa absurd hidup petani yang sering kali lebih dekat dengan tragedi yang ditertawakan.

Jika kita menggali lebih dalam, karakter ”Neneng” dalam fenomena nenengisme itu dapat dibaca sebagai simbol perlawanan perempuan terhadap norma sosial yang mengekang. Neneng bukan sosok perempuan yang lemah. Sebaliknya, dia kerap tampil sebagai figur yang unpredictable, mampu membalas keadaan dengan caranya sendiri, bahkan dalam absurditasnya. Dalam salah satu unggahan yang viral, ia menulis:

Ladang ini bukan sekadar tempat menanam, tapi juga tempat kami membuktikan: perempuan juga bisa, perempuan juga kuat!

BACA JUGA:Catatan Pameran Tunggal Syalabi ”Post Humor ’n Ecology”; Sisi Humor dengan Rasa Lokal

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menulis, ”Perempuan tidak dilahirkan, melainkan ’menjadi’ (baca: dijadikan) perempuan,” yang berarti bahwa peran perempuan dalam masyarakat selalu dikonstruksi oleh norma dan ekspektasi patriarki. 

Dalam perspektif feminisme, nenengisme adalah wujud resistansi perempuan terhadap peran gender yang dipaksakan. Satire dalam unggahan-unggahan itu kerap menunjukkan bagaimana perempuan sering kali diposisikan dalam dilema sosial –dianggap lemah, tetapi dituntut untuk kuat.

Facebook, sebagai medium utama nenengisme, tidak hanya menjadi tempat berbagi humor, tetapi juga alat perlawanan budaya. Di era digital ini, media sosial tidak lagi hanya menjadi panggung eksistensi individu, tetapi juga ruang untuk mendekonstruksi narasi-narasi hegemonik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: