Humor Nenengisme, Kritikan yang Sinisme

ILUSTRASI Humor Nenengisme, Kritikan yang Sinisme.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam konteks ini, nenengisme menjadi semacam meme culture yang khas Indonesia. Itu mengingatkan kita pada bagaimana masyarakat selalu menemukan cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan sosial melalui humor.
Dark humor, sebagaimana dipahami dalam psikologi sosial, adalah mekanisme koping yang memungkinkan individu untuk menghadapi ketidakadilan dengan tawa. Sigmund Freud menyebut humor sebagai bentuk sublimasi agresi. Melalui nenengisme, kita melihat bagaimana dark humor digunakan untuk mengkritik kondisi petani, perempuan, dan struktur sosial yang tidak adil.
Secara sosiologis, humor dalam nenengisme bisa dianalisis menggunakan konsep Pierre Bourdieu tentang habitus, yakni bagaimana kelas sosial memengaruhi cara seseorang mengekspresikan perlawanan.
Dalam masyarakat yang sarat tekanan ekonomi dan ketimpangan sosial, humor menjadi katarsis sekaligus strategi bertahan hidup.
Lebih lanjut, dalam filsafat eksistensial, humor sering dianggap sebagai cara untuk menghadapi absurditas kehidupan. Albert Camus, misalnya, menekankan pentingnya humor dalam merangkul absurditas tanpa menyerah pada keputusasaan. Nenengisme mencerminkan gagasan itu: daripada larut dalam penderitaan sosial, humor digunakan sebagai bentuk satire atas kehidupan yang getir. Seperti yang ditulis Neneng:
”Semakin panjang teori, semakin jauh dari kenyataan. Sementara kalian sibuk berdebat soal penindasan kapitalis di coffee shop mahal, kami para petani sedang memastikan kalian tetap punya makanan di meja, meski kami sendiri nggak tahu besok bisa makan apa.”
Indonesia adalah negeri dengan berbagai kontradiksi: kaya sumber daya, tetapi rakyatnya masih banyak yang miskin; demokrasi, tetapi penuh represi; multikultural, tetapi sering terpecah belah. Dalam kondisi seperti itu, absurditas menjadi bagian dari keseharian.
Nenengisme adalah refleksi dari masyarakat yang telah terbiasa dengan ketidaklogisan sistemik, mulai kebijakan publik yang tidak masuk akal, korupsi yang dianggap lumrah, hingga harga bahan pokok yang tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.
Saya kira, Neneng tidak sekadar berkelakar, tetapi sedang merespons realitas dengan tajam dan tawa. Jika segala sesuatu sudah begitu kacau, bukankah lebih masuk akal untuk menertawakannya?
Pada akhirnya, nenengisme adalah bukti bahwa tawa tidak selalu berarti keceriaan. Kadang-kadang, ia justru menjadi bentuk perlawanan yang paling efektif. Di tengah absurditas sosial, kita bertanya: Apakah kita sedang menertawakan realitas atau realitas yang sedang menertawakan kita?
Seperti kata Nietzsche, ”Perhaps I know best why it is man alone who laughs; he alone suffers so deeply that he had to invent laughter.” Dari Beyond Good and Evil, Aphorism 146, bahwa tawa tidak hanya lahir dari kegembiraan, bisa saja dari luka dan penderitaan yang tak terucapkan. Barangkali nenengisme adalah cara kita –sebagai bangsa yang terus berjuang– untuk tetap waras di tengah kegilaan dunia. (*)
*) Aniendya Christianna adalah dosen desain komunikasi visual, Fakultas Humaniora dan Industri Kreatif, Petra Christian University.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: