Program Koperasi Desa Merah Putih Percepat Pembangunan Astacita

Program Koperasi Desa Merah Putih Percepat Pembangunan Astacita

Koperasi Desa Merah Putih Akan Pakai Dana APBN dan APBD-Tangkapan layar-

Dana itu dapat dikatakan besar atau kecil bergantung dengan kondisi desa dalam mengelola koperasi. Menurut Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, pada 2024 terdapat 17.207 desa/kelurahan mandiri di Indonesia. Status desa di Indonesia beragam: mandiri, maju, berkembang, tertinggal, dan sangat tertinggal. 

Saat ini desa-desa di Indonesia telah menerima dana desa. Pada 2025, pemerintah telah mengucurkan dana desa kurang lebih Rp 71 triliun. Program dana desa tahun 2025 diprioritaskan untuk mendukung berbagai program dan inisiatif penting. Antara lain, pengentasan kemiskinan ekstrem paling tinggi 15 persen untuk bantuan langsung tunai kepada keluarga penerima manfaat dan desa adaptif terhadap perubahan iklim.

Juga, promosi dan penyediaan layanan dasar kesehatan skala desa, termasuk program penanganan stunting; dukungan program ketahanan pangan untuk meningkatkan ketersediaan pangan di tingkat desa; pengembangan potensi dan keunggulan desa; pemanfaatan teknologi informasi untuk desa digital; pembangunan berbasis padat karya tunai: menggunakan bahan baku lokal; dan program sektor prioritas lainnya di desa. 

Sebagai bentuk keseriusannya, pemerintah melalui wakil menteri koperasi dan UMKM telah meresmikan Koperasi Desa Merah Putih Gabungan Kelompok Tani Sidomulyo, Kalurahan Sidomulyo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang akan membeli gabah dan menjual pupuk kepada petani dalam rangka mewujudkan pemerataan ekonomi dan pemerataan pemberantasan kemiskinan.  

Gabungan Kelompok Tani Sidomulyo menjadi Koperasi Desa Merah Putih pertama di Indonesia yang diharapkan menjadi percontohan desa lain di DIY, dan Indonesia pada umumnya. Hal itu sebagai keseriusan pemerintah untuk mengembangkan lembaga ekonomi di perdesaan.

Menguatnya lembaga ekonomi perdesaan seperti koperasi dapat memunculkan  kegiatan ekonomi pedesaan baik di sektor pertanian maupun non pertanian di seluruh wilayah tanah air sehingga dapat tercipta kemandirian desa. Kemandirian desa dapat membuka peluang kerja di perdesaan sehingga membantu pemerintah dalam mengatasi persoalan pengangguran. 

Sebagai salah satu contoh, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Batu, yang terkenal sebagai salah satu penghasil bunga mawar terbesar di Jawa Timur. Bunga mawar segar biasa dikirim ke kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Keberhasilan petani bunga di desa tersebut memunculkan kegiatan ekonomi baru seperti usaha transportasi, pengepul bunga, kios-kios bunga yang memiliki jaringan dengan pedagang di kota besar, dan perdagangan bunga. 

Dengan berkembangnya kegiatan ekonomi di perdesaan, menurut salah seorang petani yang merangkap sebagai pengepul, saat ini tidak mudah untuk mencari tenaga kerja petani bunga. 

Biasanya anak-anak muda yang berpendidikan SMA yang mau bekerja sebagai petani hanya bersifat sementara. Setelah pandai menjadi petani bunga, mereka biasanya secara mandiri menjadi petani dan pedagang. Ditambah dengan penguasaan TI, mereka dapat memperluas jangkauan pemasaran dan mengembangkan inovasi-inovasi yang mendukung desa sebagai sentra produk bunga segar. 

Bahkan, sejumlah petani dan pengepul bunga mendapatkan pesanan dari kota-kota besar, bahkan hingga luar Jawa. Masih banyak contoh lain sebagai desa mandiri yang maju sehingga menjadikan desa sebagai pusat kegiatan ekonomi yang mandiri.

Untuk itu, desa-desa yang belum mandiri, bahkan belum maju, perlu mendapatkan bimbingan teknis dan pendampingan guna menstimulasi inovasi-inovasi baru sesuai dengan karakteristik dan potensi desa. 

Dalam hal ini, pemerintah mungkin perlu menempatkan sarjana dan praktisi-praktisi yang sukses sebagai pendamping desa guna menemukan inovasi-inovasi baru yang dapat menciptakan lembaga ekonomi desa untuk menerima suntikan dana modal. 

Jangan sampai belum ada lembaga ekonomi desa yang stabil kemudian menerima suntikan dana. Sebab, hal itu akan menimbulkan kebingungan pemerintah desa dalam memanfaatkannya dan bahkan dapat memunculkan persoalan baru. (*)


*) Rustinsyah adalah guru besar antropologi sosial budaya, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga.  

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: