Jambore Seni Lereng Gunung, Gerakan Seni Selaras dan Harmoni dengan Alam

Kelompok musik Arca Tata Sawara dalam Jambore Seni Lereng Gunung, 19 April 2025 di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Pasuruan.-Guruh DN-HARIAN DISWAY
PASURUAN, HARIAN DISWAY - Dalam rangka memperingati Hari Bumi, JatiSwara Indonesia bersama para seniman lintas daerah menggelar sebuah acara monumental bertajuk Jambore Seni Lereng Gunung.
Ajang itu digelar pada 18-19 April 2025. Bertempat di Taman Candra Wilwatikta, Pandaan, Jawa Timur, kegiatan itu mengusung tema Ruwat Rawat Segoro Gunung, sebuah gerakan seni yang memadukan spiritualitas, budaya, dan kesadaran ekologi.
Ruwat Rawat Segoro Gunung hadir sebagai bentuk keprihatinan terhadap krisis lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. Khususnya di wilayah pegunungan dan pesisir Jawa Timur.
BACA JUGA:Jambore Seni Lereng Gunung 2025, Menyemai Kesadaran Alam Lewat Festival Budaya
“Berangkat dari kegelisahan kami tentang massifnya kerusakan hutan, punahnya mata air, dan degradasi lingkungan. Kami ingin menjadikan seni sebagai sarana penyucian hubungan manusia dengan alam,” ungkap Heri Lentho, Koordinator JatiSwara Indonesia.
Berbeda dengan festival seni pada umumnya, acara itu juga menghadirkan pertunjukan sebagai ritus kolektif yang sarat makna. Mulai dari kirab budaya, tarian sakral, musik tradisional lereng gunung, hingga penanaman pohon.
Itu semua dilakukan sebagai bentuk simbolik ruwatan dan perawatan bumi. Setiap pengunjung pun diminta membawa satu bibit pohon dan ditanam. Sebagai kontribusi nyata dalam menjaga ekosistem.
Penampilan keroncong membawakan lagu Hong Wilaheng dalam Jambore Seni Lereng Gunung, 19 April 2025.-Guruh DN-
BACA JUGA:Eksotika Bromo 2024 (1), Serunya Para Penampil, Salah Satunya dari Korea Selatan
Instrumen seni tradisional seperti kendang, gamelan, angklung, dan topeng yang selama ini terbuat dari bahan-bahan alami juga menjadi sorotan. Itu semua digunakan sebagai alat musik. Terutama alat musik pukul.
Sebab, alat musik khas Indonesia sebagian besar berbasis ritmis atau dipukul. “Jika hutan rusak, maka bahan baku kesenian pun akan musnah. Menjaga hutan berarti menjaga kelangsungan budaya kita,” ujar Heri. Ia menegaskan bahwa kesenian adalah jalan hidup yang menyatu dengan alam.
Rangkaian acara Jambore tersebut meliputi Ritual Ruwatan Gunung dan Laut yang dipimpin oleh tokoh adat dan budayawan, Kirab Seni Gunung dan Laut yang menampilkan Reyog, Jaranan, Bantengan, hingga campursari, serta Apel Budaya yang diikuti Forkopimda, pelajar, dan komunitas.
BACA JUGA:Eksotika Bromo 2024 (2): Suku Tengger tampilkan Bumi Hila Hila
Puncaknya adalah pementasan Opera Kalpataru Pohon Kehidupan. Sebuah kolaborasi teatrikal antara DJ QiQis, Arca Tata Sawara, Waris, Anisatul, Cak Tawar, dan Reog Ponorogo Purwodadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: