Saatnya Kita Bicara Emas dan Freeport

Saatnya Kita Bicara Emas dan Freeport

ILUSTRASI Saatnya Kita Bicara Emas dan Freeport.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Lebih dari 1,5 abad lalu, tepatnya pada 1848–1855, dunia dilanda Demam Emas. Gegara bocor ke publik, lokasi sumber emas yang sedianya akan dirahasiakan penemunya, yakni James W. Marshall, malah menjadi ”ladang gula dirubung semut”. 

Ya, lokasi sumber emas di Sutter’s Mill di Coloma, California, membuat  ratusan ribu manusia pindah ke California. Sekitar 300.000 orang dari sekujur Amerika Serikat –bahkan dari bangsa-bangsa dari luar benua, yakni Amerika Selatan, Eropa, Australia, dan Tiongkok– ”hijrah” ke California untuk mendulang emas. 

Padahal, teknologi awalnya masih manual alias dengan  ”mengayak” pasir sungai menggunakan  sejenis nampan. Nyatanya, ekonomi AS malah tumbuh pesat. 

Demam Emas California membuat pertanian dan peternakan berkembang di kawasan tersebut. Kebutuhan para pendatang pendulang emas dadakan itu membuat ekonomi warga lokal bertumbuh. 

Hanya dalam waktu dua tahun, San Francisco yang awalnya dianggap ”kota hantu” karena jumlah penduduknya hanya 200 orang pada 1846 seketika membengkak menjadi  36.000 jiwa pada 1852. San Fransisco, kota yang menghadap Samudra Pasifik di pesisir barat California, bagai sulap ia ”dibangun dalam satu malam”, mendadak menjadi kota yang riuh. 

Keriuhan akibat emas yang mendatangkan uang secara besar-besaran membuat ”provinsi” California (tempat San Fransisco berada), pada September 1850, naik pangkat menjadi Negara Bagian California.

Itulah nasib baik bagi negara pemilik emas. Beruntung, kita punya salah satu tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia. 

PTFI pun berkontribusi terhadap pendapatan negara dan pendapatan daerah secara signifikan. Sebagai salah satu wajib pajak terbesar di Indonesia, PTFI pada 2024 menyetorkan pajak, royalti, dan dividen senilai mencapai lebih dari USD 4,6 miliar atau setara dengan Rp 79 triliun kepada pemerintah Indonesia. Angka tersebut termasuk kontribusi ke daerah mencapai lebih dari Rp 11,5 triliun. 

Sebelumnya, pada 2023, PTFI menyetorkan penerimaan negara dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan lainnya sebesar Rp 40 triliun.  

Kontribusi PTFI dalam membantu meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan nasional, baik dari pajak dan royalti, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dana bagi hasil (DBH) kepada daerah-daerah di sekitar lokasi tambang. 

Termasuk  pembangunan infrastruktur publik yang memperluas aksesibilitas dan konektivitas, khususnya di Papua Tengah. Contoh infrastruktur, Bandara Mosez Kilangin sudah berdiri di Timika sejak 1969 oleh PTFI, bukan sekadar demi mendukung operasional perusahaan, melainkan juga sebagai gerbang utama transportasi di Papua Tengah. 

PTFI juga membangun Kota Mandiri Kuala Kencana Timika pada 1995 sebagai kota modern pertama di Indonesia yang dibangun perusahaan swasta. 

Dilengkapi fasilitas perumahan, sekolah, rumah sakit, dan pusat rekreasi, serta infrastruktur bawah tanah untuk listrik dan air bersih. 

Sejak tahun 2000, PTFI juga telah menginvestasikan lebih dari USD 100 juta untuk membangun infrastruktur di wilayah dataran tinggi yang terpencil, mencakup pembangunan lebih dari 300 rumah, sekolah, rumah guru, klinik, pasar tradisional, gereja, puluhan jembatan, dan dua lapangan terbang perintis. 

Timikia juga punya Pelabuhan Amamapare yang dibangun untuk mendukung ekspor konsentrat tembaga dan emas, sekaligus sebagai titik penting dalam memainkan peran vital dalam distribusi hasil tambang ke pasar global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: