Paket Itu Berisi Jenazah Bayi

Paket Itu Berisi Jenazah Bayi

Ilustrasi ojol-Rafi Adhi Pratama-

”Loh… Gak bisa gitu dong.”

Klik… Sambungan telepon terputus. Yusuf menelepon Putri lagi, dan lagi…. Tapi, tidak pernah tersambung. Yusuf kian bingung. Ia mulai curiga, ada yang tidak beres. Ia meremas tas. Terasa empuk. Berarti bukan bom.

Lalu, Yusuf mendekati warga di sekitar masjid. Ia ceritakan kronologinya. Warga jadi penasaran pada tas tersebut. Yusuf menawarkan, bolehkah dibuka? Warga setuju tas dibuka. Ternyata isinya ini:

Sajadah biru. Kain membalut sesuatu. Dan, sesuatunya itu bayi laki-laki. Masih merah. Sudah tak bergerak. Ada secarik kertas tulisan tangan, ”Serahkan ini ke marbot masjid.”

Maka, heboh. Warga berdatangan, kepo. Mereka melihat bayi tak bergerak itu. ”Astaghfirullah… Ini bayi mati. Tega amat…,” jerit seorang perempuan. Kian lama kian banyak penonton.

Yusuf berinisiatif berangkat menuju Polsek Medan Timur. Ia menyerahkan paket tersebut. Ia dimintai keterangan polisi. Sementara itu, mayat bayi dikirim ke RS Bhayangkara Medan untuk autopsi. ”Kini kami mencari pelakunya,” ujar Siti.

Kelihatannya tidak sulit bagi polisi menangkap pelaku. Sangat mungkin sosok pelaku terpantau kamera CCTV. Namun, di balik perkara kriminalnya, ada problem besar. 

Itu menyangkut budaya free sex di kalangan gen Z. Free sex, hamil, aborsi. Kalau kehamilan telat digugurkan, lahirlah bayi. Kemudian, dibunuh. Sebab, punya anak di luar nikah adalah aib.

Itu problem. Bisa dibiarkan, dengan asumsi: toh, jumlahnya tidak signifikan jika dibandingkan dengan populasi.

Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), total populasi Indonesia tahun 2020 sebesar 270,2 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 74,93 juta jiwa generasi Z (kelahiran 1997–2012). Belum ada data jumlah gen Z free sex. Katakanlah, jumlahnya 75 ribu per tahun. Cuma 2 persen dari gen Z (sepasang pria-wanita). Tidak signifikan.

Di Amerika Serikat (AS), dulu (sebelum tahun 1960) juga seperti Indonesia sekarang. Perempuan punya anak di luar nikah, dicibir, dicemooh, dikucilkan. Dianggap rendah, melanggar norma agama di sana. 

Wanita AS yang ketahuan hamil di luar nikah dikirim ke maternity homes (rumah penampungan milik negara untuk ibu hamil, sampai melahirkan). Mereka dipaksa hukum setempat, harus menyerahkan bayinyi untuk diadopsi keluarga, yang biasanya tidak punya anak.

Kemudian itu berubah perlahan sejak tahun 1980-an. Akibat revolusi seksual. Hukum negara pun berubah, mengikuti aspirasi rakyat di sana. Dan, sejak tahun 2000-an, menjadi biasa.

Dikutip dari buku paling terkenal soal itu di AS, berjudul Promises I Can Keep: Why Poor Women Put Motherhood Before Marriage (University of California Press, 2005), karya duo profesor sosiologi AS, Kathryn Edin dan Maria Kefalas, mengulas hal itu.

Kathryn Edin guru besar sosiologi di University of Pennsylvania, AS. Maria Kefalas guru besar sosiologi di Saint Joseph’s University, Pennsylvania, AS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: