Rekonsiliasi AS-Suriah, Mengapa Trump Merangkul ”Teroris”?

ILUSTRASI Rekonsiliasi AS-Suriah, Mengapa Trump Merangkul ”Teroris”?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
BACA JUGA:Teroris yang Penjahit Akan Sasar Polisi
Pandangan itu tampaknya dipegang Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyatakan bahwa ia akan mencabut sanksi ekonomi terhadap Suriah ketika melawat ke Arab Saudi pada Selasa, 13 Mei 2025.
Ia bahkan bertemu dengan Presiden Ahmed Al-Sharaa di Saudi pada esok harinya. Keputusan Trump itu memunculkan euforia di Suriah yang sudah menghadapi sanksi ekonomi dari Amerika Serikat selama 45 tahun. Beribu warganya turun ke jalan untuk merayakan pencabutan sanksi tersebut.
Amerika Serikat sering kali menjadi stempel ”pengaman” untuk berbagai negara lain. Maksudnya, jika mereka sudah membuka diri kepada Suriah, itu berarti sudah aman bagi negara-negara lain untuk bekerja sama dengan Suriah.
BACA JUGA:Arus Uang Teroris
BACA JUGA:Ujian Berat Kohesi ASEAN di Tengah Gelombang Proteksionisme Trump
Namun, masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab, kenapa Trump mencabut sanksi tersebut?
Jawaban sederhananya adalah dukungan yang diberikan Saudi terhadap Suriah pasca-Assad. Namun, kemungkinan besarnya adalah kejatuhan rezim Assad yang selama ini menjadi musuh besar dari Amerika Serikat.
Keluarga Assad selalu memiliki hubungan baik dengan Rusia, satu di antara dua rival utama Amerika Serikat (AS) selain Tiongkok.
BACA JUGA:Prabowo: Kita Harus Mandiri Menghadapi Politik Tarif Trump
BACA JUGA:Tarif Resiprokal ala Trump: Senja Kala Era Perdagangan Bebas?
Kejatuhan Assad menjadi peluang bagi AS untuk memperkuat pengaruhnya di kasawan Timur Tengah. Apalagi, Suriah bertetangga dengan musuh AS lainnya, yakni Iran.
Hal itu merupakan gagasan lama di AS semenjak Perang Dingin, yakni kebijakan penahanan (containment policy) yang pada dekade 1950–1980-an bertujuan menahan laju perkembangan dari pengaruh komunisme di berbagai kawasan dunia.
Kebijakan itu mendorong AS untuk membangun hubungan dengan negara-negara netral yang ada di sekitar negara komunis untuk mereka jadikan sekutu.
Hal tersebut pernah diterapkan di Asia Tenggara. Dengan keberadaan Vietnam yang komunis, AS membangun koneksi dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, terutama Filipina pada masa Ferdinand Marcos dan Indonesia di bawah Soeharto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: