TBC Masih Mengancam, Perlunya Penguatan Preventif dan Promotif Berbasis Local Wisdom

ILUSTRASI TBC Masih Mengancam, Perlunya Penguatan Preventif dan Promotif Berbasis Local Wisdom.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Konektivitas program TBC dapat menyesuaikan dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat sekitar. Kunci keberhasilan program kesehatan dapat merangkul budaya masyarakat tanpa mendapatkan perlawanan dari pemangku kepentingan yang ada di masyarakat tersebut. Baik tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun kalangan yang berpengaruh di daerah tersebut.
Kearifan lokal sebenarnya menyimpan banyak potensi pencegahan TBC yang belum tergali. Masyarakat Jawa, misalnya, memiliki tradisi yosoman (membersihkan rumah bersama) dan jamu untuk meningkatkan imunitas.
BACA JUGA:Wawasan Series Merdeka dari TBC Ajak Masyarakat Berkontribusi Melawan TBC di Indonesia
Namun, program pemerintah justru mengimpor model kampanye dari luar negeri yang tidak resonan dengan budaya setempat. Contoh kegagalan terlihat di Kabupaten Malang.
Dinas kesehatan setempat pernah mengadopsi kampanye ”Stop TB” dengan poster bergaya modern. Namun, masyarakat lebih responsif ketika kader kesehatan menggunakan pepatah Jawa, ”Ojo Lungkrah, TBC Ora Ilang” (Jangan Diam, TBC Takkan Hilang) dalam pertemuan arisan.
Pendekatan kultural itu terbukti meningkatkan partisipasi warga dalam skrining TBC sebesar 35 persen (data Puskesmas Malang, 2021).
BACA JUGA:TBC Mempengaruhi Kesuburan? Ini Faktanya!
BACA JUGA:Indonesia Masih Jadi Negara Penyumbang Angka Penderita TBC Terbesar Kedua di Dunia
SOLUSI: INTEGRASI LOCAL WISDOM DALAM KEBIJAKAN TBC
Untuk memutus rantai TBC, pemerintah perlu menggeser paradigma dari sekadar ”mengobati” ke ”mencegah dengan budaya”. Berikut rekomendasi kebijakan berbasis kearifan lokal.
Pertama, pemberdayaan tokoh lokal sebagai agen perubahan. Libatkan dukun, tokoh agama, dan seniman tradisional dalam kampanye TBC. Di Bali, misalnya, program kolaborasi dengan balian (dukun) berhasil menurunkan stigma TBC di Desa Kintamani.
Anggaran pusat harus fleksibel untuk membiayai pelatihan kader kesehatan berbasis komunitas, bukan hanya tenaga medis profesional.
Kedua, adaptasi media budaya untuk edukasi. Gunakan wayang kulit atau ludruk untuk menyampaikan pesan pencegahan TBC. Di Surakarta, kelompok wayang ”Kancil Lawan TBC” sukses menarik minat 2.000 penonton dalam satu bulan.
Kembangkan konten TikTok atau podcast dengan narasi lokal, seperti kisah ”Joko Kendhil” versi pencegahan TBC.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: