Mengenal Impostor Syndrome dan Budaya Rasa Bersalah

Kadang, hidup memang memberi kejutan baik di saat yang tidak terduga. Belajar untuk menerima tanpa merasa bersalah adalah bagian dari proses mencintai diri sendiri.--Pinterest
HARIAN DISWAY - Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang merasa canggung saat menerima pujian, rezeki tak terduga, atau bahkan kebaikan dari orang lain.
Alih-alih bersyukur dan menikmati, mereka justru dicekam perasaan tidak layak. Seolah-olah kebaikan itu adalah suatu kekeliruan yang ditujukan pada orang yang salah. Fenomena itu kerap disebut sebagai impostor syndrome.
Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Pauline Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978.
BACA JUGA:Mengenal Sindrom Asperger, Fakta Penting yang Perlu Anda Ketahui
Mereka menggambarkan kondisi itu sebagai pola pikir. Yakni ketika seseorang merasa tidak pantas atas pencapaiannya sendiri, meskipun terdapat bukti objektif bahwa ia memang layak mendapatkannya.
Tak hanya dialami dalam konteks pekerjaan atau akademik, perasaan itu juga muncul dalam aspek relasi dan kehidupan personal, saat mendapat pasangan yang suportif, keberuntungan finansial, atau sekadar pujian atas kerja keras.
Menurut American Psychological Association (APA), impostor syndrome bisa menyebabkan kecemasan, stres kronis, hingga menghambat pengembangan diri.
BACA JUGA:Celine Dion Masih Berjuang Melawan Sindrom Stiff-person
Seseorang yang mengalaminya kerap meragukan kemampuan pribadi, merasa dirinya hanya "beruntung," dan khawatir akan "ketahuan" sebagai sosok yang sebenarnya tidak sehebat itu.
Alih-alih bersyukur dan menikmati, mereka justru dicekam perasaan tidak layak, seolah-olah kebaikan itu adalah suatu kekeliruan yang ditujukan pada orang yang salah. Fenomena ini kerap disebut sebagai impostor syndrome. -yacobchuk-Getty Images
BACA JUGA: Overwhelmed Sama Pilihan Hidup: Kenapa Generasi Sekarang Takut Ambil Keputusan Besar?
Namun, tekanan mental itu tidak berdiri sendiri. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesederhanaan dan pengorbanan, rasa tidak pantas kerap diperkuat oleh budaya.
Misalnya, ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang menekankan bahwa keberhasilan harus selalu "dibayar" dengan kerja keras ekstrem, maka pencapaian yang datang tanpa penderitaan berat bisa memicu rasa bersalah.
Itu dikenal sebagai cultural guilt, kondisi saat rasa syukur dibayangi oleh perasaan bahwa seseorang sedang melanggar norma tak tertulis tentang "cara yang benar" untuk berhasil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: