Pernikahan Dini di Lombok Tengah, Nilai Adat Kalahkan Hukum Positif Negara

Pernikahan Dini di Lombok Tengah,  Nilai Adat Kalahkan Hukum Positif Negara

Pernikahan dini di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mempelai pria berusia 16 tahun dan mempelai wanita 14 tahun. -tangkap layar-


--

Oleh: Yayan Sakti Suryandaru,

Pengamat Gender, FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

MENGERIKAN melihat praktik pernikahan dini di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mempelai pria berusia 16 tahun dan mempelai wanita 14 tahun. Akibat desakan kedua anak itu, perkawinan dipaksakan berlangsung. 

Aparat desa tidak kuasa menolak permintaan ini. Peristiwa ini sangat menghebohkan Indonesia sehingga membuat diri kita bertanya, apakah karena alasan adat atau tradisi, hukum positif negara (undang-undang) terkalahkan.

Kasus ini seperti halnya beberapa waktu yang lalu pernah terjadi di Semarang. Kasus pernikahan Syeikh Puji dan pasangannya, Lutfiana Ulfa, yang saat itu masih di bawah umur. Saat itu nilai agama mengalahkan hukum yang berlaku. Si laki-laki sudah beristri, sedang mempelai wanita merupakan anak di bawah umur. Tapi pernikahan itu tetap berlangsung. Bahkan kabarnya pasangan ini hidup berbahagia dengan anak-anaknya.

Pernikahan di Lombok Tengah ini dilaksanakan. Pernikahan terjadi karena sang pria sudah membawa kabur pacarnya ke Sumbawa selama lebih dari 24 jam. Ini merupakan bagian dari adat di daerah itu. Alasan inilah membuat orang tua kedua mempelai menganggap pernikahan harus segera dilangsungkan. 

BACA JUGA:Viral Bocah 4 Tahun di Madura Tunangan, Pj Gubernur Jatim: Pernikahan Dini Berbahaya

BACA JUGA:Persatuan Guru NU Bantu BKKBN Cegah Stunting, Edukasi Bahaya Pernikahan Dini

Padahal ketentuan UU mengatakan kedewasaan perempuan dinilai ketia dia sudah berumur 18 tahun. Kedua mempelai masih di bawah umur, pantas saja aparat desa menolak permintaan pengurusan dokumen perkawinan. Oleh sebab itu semua pihak menganggap pernikahan ini “di bawah tangan”.

Membongkar Tradisi

Peristiwa di Lombok Tengah itu seperti gunung es. Banyak peristiwa serupa terjadi di pelosok negara ini. Atas nama tradisi, hukum negara dikalahkan. Terlebih lagi bila pelaku tergolong orang berada. Aparat desa tidak berkuasa, terlebih lagi pihak keamanan setempat (Bhabinkamtibmas atau Babinsa).

Kedewasaan seseorang menjadi ukuran seseorang beraktivitas, seperti nyoblos dalam pemilu, nonton film dewasa, membayar pajak, memiliki KTP/SIM, atau menikah. Inilah yang menyebabkan seseorang dianggap sudah layak melakukan sesuatu yang dianggap kegiatan orang dewasa. Aturan kedewasaan secara hukum mulai diterbitkan tahun 1974 (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sampai sekarang UU ini masih berlaku. 

Secara medis, anak yang belum cukup umur dianggap organnya belum siap. Artinya, rahim si anak belum matang menerima kehadiran jabang bayi. Berbagai penyakit menular seksual (PMS) berpotensi besar menjangkiti pengantin Wanita. Belum lagi bila terjadi pernikahan sedarah, besar peluang jabang bayi yang akan menderita cacat. 

BACA JUGA:Brawijaya Awards, Babinsa Ponorogo Cegah Pernikahan Dini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: