Pernikahan Dini di Lombok Tengah, Nilai Adat Kalahkan Hukum Positif Negara

Pernikahan Dini di Lombok Tengah,  Nilai Adat Kalahkan Hukum Positif Negara

Pernikahan dini di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mempelai pria berusia 16 tahun dan mempelai wanita 14 tahun. -tangkap layar-

BACA JUGA:Pernikahan Dini Jatim 15.244 Kasus : Pemkot Libatkan Forum Anak Surabaya

Anak hasil hubungan sedarah akan memiliki keragaman genetik yang sangat minim dari DNA-nya. Kurangnya variasi dari DNA dapat meningkatkan peluang terjadinya penyakit genetik langka. Oleh karena itu, secara medis pun anak yang belum dewasa tidak diperkenankan menikah meskipun secara materi dianggap mampu untuk menempuh hidup baru.

Dari sisi psikologis, si calon ibu belum siap untuk merawat anaknya, jangan sampai dikatakan ada anak-anak yang merawat anaknya. Merawat anak memang tidak ada sekolahnya. Ini merupakan kemampuan yang diperoleh seseorang karena jam terbang dan kebiasaannya. Sehingga pengantin anak disangsikan kemampuan mengasuh anaknya, meskipun dia mampu secara materi.

Tetapi apa yang terjadi di beberapa pelosok wilayah negeri ini sangat kontradiktif. Sebuah undang-undang tidak mampu menahan gempuran nilai-nilai adat/tradisi. Meskipun aparat pemerintahan tidak memberikan izin, pernikahan itu tetap terjadi. Sehingga perlu kiranya semua pihak memikirkan kondisi ini. 

Perlu kiranya dipikirkan apakah penentuan usia dewasa masih sesuai dengan era saat ini. Perlu kiranya didiskusikan nilai tradisi yang mebgalahkan hukum positif negara, terutama karena alasan berkaitan hal itu merupakan kebiasaan di wilayah tersebut, persiapan perhelatan pernikahan yang sudah matang, atau biaya pernikahan sudah dianggap cukup untuk acara tersebut. 

BACA JUGA:Pernikahan Dini Jatim 15.244 Kasus : Pemkot Libatkan Forum Anak Surabaya

BACA JUGA:Pernikahan Dini di Jatim Tinggi

Demikian pula soal ketegasan apparat negara yang perlu ditingkatkan. Mereka harus bersikap tegas dalam hal ini demi menjalankan amanat undang-undang.

Indonesia tidak sendirian menghadapi persoalan pernikahan dini. Banyak negara lain juga bergulat dengan masalah serupa, namun beberapa di antaranya telah menunjukkan kemajuan berarti. Di Bangladesh, misalnya, pemerintah bekerja sama dengan organisasi internasional seperti Girls Not Brides untuk mengedukasi masyarakat, memberdayakan perempuan, dan memperkuat penegakan hukum. Melansir laman https://www.girlsnotbrides.org, melalui National Action Plan to Eliminate Child Marriage 2018-2030 di Bangladesh yang merupakan kolaborasi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat ini berhasil menurunkan angka pernikahan anak secara signifikan. Pemerintah Bangladesh juga melibatkan tokoh agama dan masyarakat dalam kampanye perubahan norma sosial.

Permasalahan pernikahan dini pun terjadi di negara yang kerap dianggap maju seperti Jerman. Mengutip pemberitaan pada https://www.dw.com/id/bocah-menikah-setiap-pekan-jerman-kewalahan-tanggulangi-pernikahan-anak/a-50559956, di Jerman, sejak diberlakukannya Undang-Undang Anti-Pernikahan Anak pada 2017, pernikahan di bawah usia 18 tahun dilarang keras. Namun, implementasi hukum saja ternyata tidak cukup. Perubahan sosial dan edukasi masyarakat tetap menjadi kunci utama. 

UNICEF melalui program Global Programme to Accelerate Action to End Child Marriage (GPECM) di Afrika menerapkan pendekatan lintas sektor seperti pemberdayaan ekonomi keluarga, pendidikan seksualitas, dan pelatihan keterampilan hidup bagi remaja perempuan. Program ini berhasil mengubah sikap masyarakat di Zambia, Ghana dan Ethopia, serta menurunkan angka pernikahan anak dengan melibatkan jutaan anak perempuan dan komunitas. Program ini juga memperkuat kapasitas pemerintah dan organisasi masyarakat dalam melindungi hak anak perempuan. Wallahualam Bissawab. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: