Pemimpin Baru Program Baru karena Neomania Kekuasaan

Pemimpin Baru Program Baru karena Neomania Kekuasaan

Ilustrasi Koperasi Desa Merah Putih.-desaumbulrejo.gunungkidulkab.go.id-

BACA JUGA:3.904 Koperasi Merah Putih di Jatim Sudah Berbadan Hukum, Pemprov Optimistis Capai Target Nasional

Neomania dalam Kebijakan Publik

Contoh paling gamblang yang bisa diihat adalah program-program bantuan sosial dan pembangunan desa. Penulis masih ingat, dulu di era SBY, terdapat program bernama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Program ini dinilai cukup berhasil membangun partisipasi dan kapasitas desa. Setelah rezim SBY berakhir dan berganti ke rezim Jokowi, program PNPM ini dihentikan. Lalu muncullah program baru bernama Dana Desa, dengan skema dan prinsip serupa, namun digembar-gemborkan sebagai “kebijakan baru”. 

Contoh lain yang bisa kita lihat  adalah Kartu Indonesia Pintar, Kartu Prakerja, atau BLT-Dana Desa yang seolah-olah baru, padahal banyak sekali kemiripan dengan program di era sebelumnya. Seperti ada kesan bahwa setiap pemimpin harus menciptakan brand-nya sendiri.

Di tingkat lokal, fenomena obsesi terhadap program baru, bisa dilihat dalam peluncuran program Koperasi Merah Putih. Diluncurkan dengan semangat besar dan modal mencapai Rp. 3 miliar per Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Berita Kompas, 24 Mei 2025). Koperasi ini menargetkan pendirian ribuan koperasi desa baru sebagai bagian dari penguatan ekonomi rakyat berbasis komunitas. 

BACA JUGA:20 Persen Dana Desa untuk Ketahanan Pangan, Mendes PDT: Tak Ada Celah Lagi untuk 'Bermain'

BACA JUGA:Dana Desa Akan Mulai Diprioritaskan Untuk Modal Badan Usaha Milik Desa

Namun dalam pelaksanaannya, koperasi ini seringkali dibentuk dari nol tanpa dialog yang memadai dengan lembaga-lembaga ekonomi desa yang sudah ada – seperti Koperasi Unit Desa (KUD), koperasi nelayan, koperasi tani, atau koperasi simpan pinjam lokal. 

Dalam program Koperasi Merah Putih, pemerintah sebenarnya memberikan tiga jalur pendaftaran untuk mengakses program ini: mendirikan koperasi baru, mengembangkan koperasi yang ada, dan merevitalisasi koperasi lama. Artinya, ada ruang legal dan strategis untuk memperbaiki dan melanjutkan koperasi yang sebenarnya sudah hidup dalam denyut sosial-ekonomi desa. 

Namun, yang terjadi di banyak tempat, pendekatan yang dilakukan justru bersifat “copy-paste kelembagaan”. Desa-desa didorong membuat koperasi baru hanya demi mengejar target kuantitas atau sebagai bentuk kepatuhan atas perintah pusat. Padahal, akan jauh lebih berkelanjutan jika kekuatan koperasi lokal yang sudah ada sebelumnya dimaksimalkan. Misalnya, dengan memperbarui manajemennya, memperluas unit usaha, memperkuat jaringan distribusi atau memodernisasi sistem keuangannya. 

Hal itu lebih memungkinkan untuk menciptakakan keberlanjutan daripada membangun struktur yang baru dari awal.  Akibatnya, masyarakat menjadi kebingungan, muncul tumpang tindih kelembagaan, dan esensi koperasi sebagai organisasi dari-oleh-untuk anggota jadi kabur dalam pusaran proyek. 

BACA JUGA:Bansos BLT BBM Cair Bulan April, Masuk Rekening Rp 600 Ribu, Buruan Cek!

BACA JUGA:Bahlil Ungkap Skema Baru Penyaluran Subsidi BBM di 2025 Sudah Rampung, Tetap BBM Atau BLT?

Ambisi di Balik Program Baru

Kecenderungan menciptakan program baru oleh para pemimpin bukan semata soal kebutuhan teknokratis saja. Ia berakar pada pola pikir dan dinamika kekuasaan yang lebih dalam. Setidaknya ada tiga ambisi utama yang mendorong lahirnya program-program baru ketika terjadi transisi kekuasaan. 

Pertama, ambisi personal. Dalam dunia kepemimpinan, dorongan egoistik untuk meninggalkan jejak sejarah atau legacy, kerap mendorong pemimpin untuk meluncurkan program-program baru yang bisa diklaim sebagai “hasil kepemimpinannya sendiri”. Menurut sebuah analisis tentang keberlanjutan litas rezim, program yang terlalu dikaitkan dengan figure tertentu cenderung tidak berlanjut ketika kekuasaan berganti, meskipun program  itu efektif dan berhasil (Kwasi Asare, Between Legacy and Continuity, 2022). 

Kedua, ambisi pencitraan, yang sering kali berkaitan dengan gejala neomania. Yaitu obsesi berlebihan terhadap segala sesuatu yang baru. Dalam sistem politik elektoral seperti Indonesia, program baru sering kali menjadi komoditas politik. Ia dipakai untuk menunjukkan bahwa pemimpin saat ini “berbeda dan lebih inovatif” dibanding pendahulunya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: