FSAI 2025, Jalinan Diplomasi Dua Bangsa Lewat Sinema

Lewat masterclass FSAI 2025 ingin sineas berkarya lewat kenangan dan rasa. --HARIAN DISWAY
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Layar proyektor menyala di lantai 35 Pakuwon Tower di Collaborative Area Western Sydney University. Ruang itu biasanya diisi kegiatan dari para pelaku bisnis dan akademisi.
Namun, pada 13 Juni 2025, menjadi ruang diskusi sinema FSAI atau Festival Sinema Australia-Indonesia. Ajang itu sekaligus membuka ruang percakapan tentang masa depan sinema, teknologi, dan manusia. Acara tersebut dalam rangka menyambut ulang tahun ke-10 FSAI.
Kerren Ely-Harper, akademisi senior dari Curtin University, Australia Barat, berbicara tentang film, kecerdasan buatan (AI), dan media sosial. Tiga hal itu kini saling menyusup dalam dunia seni visual.
BACA JUGA:Google Veo 3, Ketika Imajinasi menjadi Realitas Sinematik
Keerren Ely-Harper memparkan bagaimana film bisa melambung lewat media sosial. --HARIAN DISWAY
“Media sosial bukan cuma panggung hiburan,” katanya, sambil menunjuk ke presentasi yang bergulir di layar. “Tapi merupakan alat yang bisa mengubah bagaimana film diproduksi, didistribusi, bahkan dirasakan.”
Lantas Keerren mengajak peserta masterclass, yang sebagian besar adalah sineas muda dan mahasiswa komunikasi, untuk memikirkan ulang cara mereka bercerita lewat gambar.
Di tengah maraknya konten berbasis AI yang kian mendominasi feed Instagram dan TikTok, nilai kemanusiaan dalam film justru terasa kian mahal.
BACA JUGA:Festival Sinema Kita 2025, Putar Film Dokumenter Road to Resilience
“Konten AI memang pintar. Tapi ia tidak punya rasa,” ucapnya. Kalimat itu seolah menyengat ruang diskusi yang sebelumnya tenang. Dia lalu memutar salah satu karya dokumenter pendek yang diunggah ke akun Instagram mereka, @memorytales.
Film itu berjudul My Pink Rose. Dibuat oleh Ladan Kayaye Afshar. Berkisah tentang Ghazal, seorang ibu tunggal asal Iran yang bermigrasi ke Australia dan melahirkan putrinya Rose.
Bukan film dengan sinematografi megah. Melainkan hanya potongan video dan foto, tanpa musik latar atau animasi dramatis. Tapi mengungkapkan kejujuran. Justru karena itulah film itu terasa menyentuh. Jumlah tayangannya di Instagram mencapai 50 ribu lebih.
BACA JUGA:Love & Pop, Eksperimen Sinematik Hideaki Anno, Kupas Realitas Kelam Remaja Jepang
“Kita tidak butuh kamera mahal atau kru besar untuk menyentuh hati orang. Yang kita butuhkan adalah cerita. Dan rasa,” ujar Keerren.
Di situlah letak pentingnya media sosial bagi sineas pemula. Dulu, untuk membuat film yang ditonton orang banyak, seseorang harus pitching ke rumah produksi, mencari investor, membangun reputasi.
Bahkan terlibat dalam kompetisi tak berujung. Hanya untuk mendapat slot tayang di festival. Kini, semua itu bisa dipersingkat. Asal tahu caranya.
BACA JUGA:Sinemorfosis 10 Transformasi Anggota Baru Graha Sinema Melalui Layar
“Buat film pendek. Unggah ke media sosial. Lihat bagaimana penonton merespons,” saran Keerren. Dia percaya bahwa dunia digital memberi ruang demokratis bagi siapa pun yang ingin berkarya, selama mereka jujur pada cerita yang ingin disampaikan.
Ia bahkan menyebut bahwa kenangan pribadi bisa menjadi kenangan kolektif apabila diramu dengan jujur dan penuh rasa. “Karena manusia pada akhirnya terhubung lewat rasa,” tambahnya.
Festival Sinema Australia Indonesia tahun ini bukan sekadar pamer karya sinema. Tapi juga jembatan budaya. Sebuah ikhtiar panjang untuk mempererat relasi dua negara yang bertetangga yang kadang tak saling memahami.
BACA JUGA:Peluncuran #AussieBanget Corner di UINSA, Tingkatkan Kerja Sama Pendidikan Australia-Indonesia
Sachi Davis Penjabat Konsulat Jenderal di Surabaya mengharapkan hubungan Australia-Indonesia semakin baik lewat FSAI 2025. --HARIAN DISWAY
Sachi Davis, Penjabat Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, menyebut film sebagai alat diplomasi kultural yang sangat efektif.
“Ketika orang Indonesia menonton film Australia, dan sebaliknya, mereka jadi tahu kehidupan nyata di negara lain. Stigma bisa perlahan hilang,” ujarnya.
Ia berharap FSAI menjadi ruang terbuka untuk saling melihat dan memahami. Tak lagi lewat lensa stereotip, tapi lewat rasa dan pengalaman yang dibagikan lewat layar.
BACA JUGA:4 Film Besutan Martin Scorsese sebelum Era 2000 yang Mengubah Dunia Sinema
Dengan semangat itulah FSAI 2025 berjalan. Menghubungkan para kreator, pelajar, dan penonton dari dua bangsa.
Tak hanya di Jakarta, tapi juga berbagai kota besar yang belakangan ini semakin aktif dalam geliat budaya dan sinema.
Menjelang akhir sesi, Keerren kembali mengingatkan bahwa teknologi, meski mengagumkan, tapi hanya mampu membuat gambar bergerak.
BACA JUGA:Claude Sautet, Maestro Sinema Prancis, Hadirkan Film sebagai Cermin Kehidupan
Tetapi hanya manusia yang bisa membuat film yang hidup. “Teknologi boleh canggih. Tapi jangan tinggalkan rasa. Karena rasa itulah yang membuat kita ada sebagai manusia,” katanya.
Acara memang berlangsung cukup singkat. Tapi percakapan tentang masa depan film, AI, dan media sosial, jelas masih panjang. Dan siapa tahu, dari ajang itu bisa lahir para pembuat film masa depan. Para kreator yang tidak hanya paham algoritma, tapi juga paham rasa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: