Love & Pop, Eksperimen Sinematik Hideaki Anno, Kupas Realitas Kelam Remaja Jepang
Love and Pop, film besutan Anno Hideaki sang pencipta Neon Genesis Evangelion. --Anime News And Update
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Di antara deretan karya Hideaki Anno, Love & Pop (1998) mungkin menjadi salah satu film paling eksperimental dan jauh dari arus utama. Dikenal sebagai kreator Neon Genesis Evangelion, Anno berani menempuh jalur berbeda dalam film itu.
Ia menghadirkan kisah yang dekat dengan realitas sosial Jepang, melalui teknik sinematografi yang tak lazim.
Film tersebut diadaptasi dari novel Love and Pop: Topaz II karya Ryū Murakami, seorang penulis yang sering membongkar sisi gelap masyarakat Jepang dalam karyanya.
Film itu membawa penonton ke dalam satu hari dalam hidup Hiromi, seorang siswi SMA berusia 16 tahun. Dia sedang mencari identitasnya di tengah hingar-bingar kota Tokyo.
Hiromi bersama teman-temannya menjelajahi distrik Shibuya, berbincang tentang cinta, harapan, dan masa depan yang masih samar.
BACA JUGA:Dari Game ke Film, Sleeping Dogs Gandeng Aktor Simu Liu
Love And Pop menguliti reailta kelam di Jepang pada saat itu. --Asian Movie Plus
Namun, sesuatu yang lebih dalam menghantui benaknya. Ketika dia melihat sebuah cincin topas yang indah dan mahal, obsesi untuk memilikinya menyeretnya ke dalam dunia enjo kōsai—fenomena kencan berbayar. Itu menjadi perbincangan kontroversial di Jepang pada era tersebut.
Dengan polosnya, Hiromi menelusuri jalan yang samar. Bertemu dengan pria-pria dewasa. Mereka melihatnya bukan sebagai gadis SMA biasa. Tetapi sebagai fantasi yang bisa dibeli dengan uang.
Apa yang membuat Love & Pop begitu mencolok adalah caranya menyajikan kisah itu. Anno tidak memilih pendekatan sinematik konvensional. Melainkan menggunakan berbagai teknik eksperimental yang memberi pengalaman imersif bagi penonton.
BACA JUGA:Film Petaka Gunung Gede Hadirkan Kisah Nyata Pendakian Maiia Azka pada Tahun 2007
Love And Pop menangkap fenomena kencan berbayar yang dilakukan remaja SMA pada saat itu. --letterboxd
Kamera sering kali diletakkan di tempat-tempat yang tidak biasa. Seperti dalam tas, di dalam mulut karakter, atau bahkan di atas kaleng soda.
Itu menimbulkan kesan voyeurisme. Mengingatkan bahwa dunia remaja perempuan sering kali menjadi objek tatapan dan ekspektasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: