Satu Kampung Sekolahkan Devit: Saat Masyarakat Ambil Alih Kekosongan Sistem

Satu Kampung Sekolahkan Devit: Saat Masyarakat Ambil Alih Kekosongan Sistem

Dosen ITB sekaligus influencer pendidikan, Imam Santoso, saat berada di kampung Devit Febriansyah di lereng Gunung Singgalang, Malalak, Sumatera Barat.-FB Kabarpemalang-

Beberapa contoh korupsi di sector pendidikan yang sering terjadi di sector pendidikan antara lain penggelapan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Data dari ICW menyebutkan bahwa 40% kasus korupsi di sector pendidikan yang ditindak pada tahun 2023 melibatkan dana BOS (https://antikorupsi.org/id/ ). Sebagian besar modus korupsi di sector pendidikan yaitu laporan fiktif, penyalahgunaan anggaran, penggelembungan dana (mark up), pungutan liar/pemerasan, penyunatan anggaran, penggelapan, dan penyalahgunaan wewenang (https://aclc.kpk.go.id/).

Anggaran Pendidikan 20 Persen: Tantangan di Penyelenggaraan

Presiden terpilih, Prabowo Subiakto menegaskan bahwa ia akan mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan, sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 tentang hak pendidikan bagi rakyat Indonesia. Dalam debat capres (Kompas, 2024), Prabowo menyatakan bahwa pendidikan adalah pondasi utama negara maju, dan ia berkomitmen penuh untuk melindungi hak belajar generasi muda. Ini tentu saja patut diapresiasi. Namun pertanyaannya, bagaimana dana sebesar itu akan digunakan? Sudah saatnya alokasi pendidikan tidak hanya focus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada pembinaan karakter, dukungan untuk keluarga miskin, serta pelatihan guru dan penguatan komunitas belajar.

Sebagai contoh, program Kampus Mengajar yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek telah erbukti membantu sekolah-sekolah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dengan menghadirkan mahasiswa sebagai mitra guru untuk memperkuat literasi, numerasi dan adaptasi digital. Namun program ini masih bergantung pada anggaran pusat dan memiliki keterbatasan cakupan wilayah serta durasi pelaksanaan. Pemerintah daerah seharusnya ikut memberikan dukungan finansial dan kelembagaan untuk memperluas dampaknya. 

Di sisi lain, Dana BOS yang menjadi tulang punggung pembiayaan pendidikan dasar di Indonesia, juga perlu mendapat perhatian lebih dalam hal evaluasi dan tata kelola. Temuan dari BPK dan Kemendikbutristek pada tahun 2023 menunjukkan bahwa masih ada penyimpangan dan ketidaktepatan penggunaan Dana BOS. Di daerah seperti NTT, Papua atau pelosok Kalimantan, akuntabilitas Dana BOS menjadi sangat penting karena seringkali itu adalah satu-satunya operasional yang andal bagi sekolah di level pendidikan dasar. 

Inisiatif dari Bawah, Pendidikan Mulai Bergerak

Gotong royong satu kampung untuk menyekolahkan Devit adalah contoh nyata bahwa masyarakat tidak lagi menunggu komando dari pusat. Mereka bergerak karena tahu bahwa masa depan bisa dibentuk dari solidaritas hari ini. Cerita seperti iin juga muncul dari daerah lain. Seperti di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, dimana warga secara swadaya membangun sekolah darurat pascabencana (Tempo, 2021). 

Contoh lainnya seperti di Flores,  NTT, di mana komunitas lokal seperti Shoes for Flores, Koin untuk Sikka, menginisiasi gerakan pendidikan seperti sumbangan buku, bantuan sepatu untuk siswa-siswa dari keluarga miskin, pemeriksaan kesehatan dan pemeriksaan gigi gratis dengan sistem donasi terbuka dari masyarakat hingga diaspora. Inisiatif semacam ini perlu dikabarkan, dicontoh, disinergikan. 

Inisiatif-inisiatif di atas berasal dari masyarakat dan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Inisiatif  yang lahir dari bawah juga perlu pengawasan dan pendampingan dari berbagai elemen agar tetap berdaya dan tak hilang di tengah jalan. Pemerintah daerah dan pusat  harus hadir sebagai penguat, bukan pengganti dengan cara merangkul gerakan ini dalam bentuk dukungan formal dan regulasi yang berpihak. Masyarakat sudah bergerak, tinggal negara mengejar. Karena jika semuanya menunggu  dari pusat, pendidikan hanya akan terus  bergantung pada cerita “ajaib” seperti Devit, dan itu tak cukup untuk mencapai Indonesia Emas. 

Silent Agency: Ketika Perubahan Tidak Selalu Teriak

Kisah Devit juga relevan jika dibaca melalui kacamata teori silent agency. Teori yang juga disebut non-movement ini diperkenalkan oleh seorang sosiolog Asef Bayaf dalam bukunya Life as Politic. How Ordinary People Change the Middle East.  Bayaf menjelaskan bahwa aksi perubahan penting tidak selalu terjadi melalui gerakan besar atau tokoh popular, melainkan melalui banyak tindakan kecil dan tersembunyi dari individua tau kelompok marjinal. Mereka adalah agen perubahan yang bisa muncul dari kelompok yang tak bersuara secara politik, namun efektif secara sosial. Mereka bekerja tanpa panggung, tapi menghasilkan perubahan nyata. 

Ini mirip dengan yang terjadi dengan Barefoot College di India, di mana perempuan desa dilatih menjadi teknisi surya tanpa gelar tinggi, namun berhasil menerangi ribuan rumah. Atau kisah Free Lunch for Children di Tiongkok, di mana masyarakat mendonasikan makan siang untuk anak-anak sekolah di daerah terpencil hingga memengaruhi kebijakan nasional.

Kisah-kisah di atas memperlihatkan bahwa silent agency berhasil membangun fondasi perubahan sosial, meskipun mereka tidak berteriak atau viral. Ini adalah bentuk kuasa lokal yang bekerja pelan, namun determinannya nyata: siswa bisa sekolah, guru mendapat dukungan, dan sistem komunitas tumbuh lebih kuat tanpa pusat berteriak. 

 

Jadikan ini Gerakan, Bukan Sekedar Momen Sesaat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: