Cerita Diaspora oleh Mushonnifun Faiz Sugihartanto (1): Seribu ”Thank You” Menuju Finlandia

Mushonnifun Faiz Sugihartanto, kegagalan seolah menjadi teman dan pelecut terbaik untuk melanjutkan pendidikan di Finlandia.--
Itulah yang mendorong saya untuk memberanikan diri melamar beasiswa LPDP Reguler untuk S3 pada 2021. Terlebih pada waktu itu atasan saya di departemen memberikan lampu hijau dan surat rekomendasinya.
Pada akhir 2021, saya diterima sebagai awardee LPDP. Saya diberi waktu dua tahun untuk mencari Letter of Acceptance (LoA) dari universitas-universitas yang ada di list LPDP. Saya mencantumkan tiga universitas sebagai pilihan di aplikasi: University of Sheffield (UK), Copenhagen Business School (Denmark), dan University of Melbourne (Australia). Semua mempertimbangkan kecocokan peneliti dari calon supervisor.
Dari ketiga universitas tersebut, hanya calon supervisor dari Copenhagen yang membalas email dan tertarik dengan proposal penelitian saya. Sementara dari University of Melbourne, ada balasan dari salah seorang supervisor, tapi sebelum saya interview akhir, saya tahu dari website bahwa universitas tersebut mengubah model studi doktoral untuk business school menjadi 5 tahun.
BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Mohammad Rozi (3): Tinggalkan PNS Demi Better Job
Artinya 2 tahun master of commerce dan 3 tahun doktoral. Itu membuatnya tidak menjadi eligible dengan funding LPDP karena mereka sudah menyediakan funding sendiri. Ditambah secara ketentuan, LPDP hanya membiayai studi doktoral dengan durasi maksimal 4 tahun. Otomatis, peluang saya ke University of Melbourne dengan LPDP hampir tertutup.
Komunikasi intens saya lanjutkan dengan calon supervisor dari Copenhagen Business School. Setelah mengirim semua berkas aplikasi, dan seterusnya, ternyata terdapat masalah besar: living allowance.
Ya, standar LPDP untuk Denmark pada waktu itu sebesar 1200 euro per bulan. Ditambah tunjangan keluarga (maksimal 2 orang), maka sekitar 1800 euro per bulan. Padahal, standar gaji PhD researcher di Denmark, sebelum pajak, sekitar 3800-4692 euro.
Hal ini membuat argumen calon pembimbing saya kepada universitas waktu itu ditolak. Walaupun aplikasi saya sudah oke. Bahkan dia sudah memperjuangkan saya supaya mungkin bisa mendapat top up salary tambahan dari universitas, tapi sayang universitas tidak bisa memenuhi keinginan tersebut. Kali itu saya harus give up.
BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Marisa Tania (5): Mode ke Kode
Sementara itu, calon supervisor dari University of Sheffield tidak kunjung membalas email. Di tengah kebingungan itu, muncul pengumuman dari DIKTI yang mengadakan beasiswa Bridging Course bagi dosen-dosen di Indonesia untuk diberangkatkan keluar negeri menemui langsung calon supervisor yang di-approach.
Sempat saya browsing dan kepo. Pada 2021, tujuannya ke Irlandia dan Inggris. Saya yang iseng mendaftar dan ternyata dinyatakan tidak lolos di pengumuman akhir. Namun, pada 22 Agustus 2022, saya dihubungi oleh pihak DIKTI jika saya ditawari untuk berangkat bridging karena beberapa peserta yang lolos mengundurkan diri.
Dengan persetujuan dari atasan di departemen, saya mengiyakan tawaran tersebut. Saat itu saya baru bertanya ke DIKTI ke mana tujuannya karena dalam di surat resmi pemanggilan tak ada keterangan itu. Allahu Akbar! Ternyata University of Sheffield!
BACA JUGA:Cerita Diaspora dari Marisa Tania (6): Engineer Indonesia Menembus Silicon Valley
Tahu kan, itu universitas yang menjadi pilihan pertama saya di LPDP. Universitas yang calon supervisor yang sudah saya email tidak merespons walaupun sudah beberapa kali berkirim email.
Hari itu saya seolah mendapat angin segar akhir dari pencarian PhD ini. Saya ternyata ditakdirkan menemui langsung ke Inggris. Tak hanya via email. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: