Serangan AS ke Iran: Taruhan Trump pada Kekuatan Militer dan Akhir Diplomasi

DUA BALIHO dukungan untuk Donald Trump di tel Aviv, Israel. Foto atas, 18 Juni 2025, bertuliskan: Tuan Presiden, selesaikan tugasmu. Foto bawah, 22 Juni 2025, bertuliskan: Terima Kasih, Tuan Presiden.-GIL COHEN-MAGEN & AHMAD GARABLI-AFP-
Presiden Donald Trump telah membuka babak baru dalam konflik panjang antara Amerika Serikat dan Republik Islam Iran. Sekira separo abad terakhir, konflik mereka berlangsung di balik layar. Namun, keputusan Trump untuk menyerang fasilitas nuklir Iran menandai titik balik dramatis. Kekuatan bersenjata menggantikan diplomasi.
Langkah itu dipandang sebagai hasil dorongan dari Israel. Ya, sepekan sebelumnya, Israel meluncurkan serangan besar terhadap Iran. Konsekuensi tindakan itu memang masih belum dapat dipastikan.
"Hasilnya baru bisa terlihat tiga hingga lima tahun ke depan. Bisa jadi, Iran tidak akan bisa memproduksi nuklir. Atau, mereka justru punya alasan kuat untuk membikin bom atom,’’ ujar Kenneth Pollack, mantan analis CIA yang kini menjadi Wakil Presiden tentang Kebijakan di Middle East Institute.
Selama ini, intelijen AS tidak menyimpulkan bahwa Iran sedang membangun bom nuklir. Aktivitas nuklir Teheran memang sangat sensitif. Tetapi, itu lebih dipandang sebagai alat tawar-menawar diplomatik. Para analis juga yakin bahwa Iran telah mengantisipasi kemungkinan serangan sejak lama.
BACA JUGA:Menteri Luar Negeri AS Desak China Halangi Iran Tutup Selat Hormuz
BACA JUGA:AS Sebut Program Nuklir Telah Dihancurkan, Dorong Iran Segera Ambil Opsi Damai
Namun bagi Trita Parsi, pengkritik keras opsi militer, serangan Trump justru memperbesar risiko. Bisa jadi, Iran akan menjadi negara bersenjata nuklir dalam waktu dekat.
"Trump kini justru membuat Iran lebih mungkin menjadi negara nuklir dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang," kata Parsi, Wakil Presiden Eksekutif di Quincy Institute for Responsible Statecraft.
Ia juga me-warning agar publik tidak terlena dengan propaganda keberhasilan taktis jangka pendek.
"Jangan samakan keberhasilan taktis dengan keberhasilan strategis. Perang Irak juga 'berhasil' dalam beberapa minggu pertama. Tapi deklarasi 'Misi Selesai' Presiden Bush terbukti keliru secara sejarah," katanya.
--
Harus diakui, serangan AS terjadi ketika Iran berada dalam kondisi terlemah sejak revolusi Islam 1979 yang menggulingkan Shah pro-Barat. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang didukung Iran terhadap Israel, Tel Aviv melancarkan operasi militer besar-besaran. Israel menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza. Negeri itu juga Hizbullah di Lebanon. Selama ini, Hizbullah adalah proxy utama Iran yang selama ini bisa diandalkan untuk menyerang Israel.
Di sisi lain, sekutu utama Iran di dunia Arab, Presiden Suriah Bashar al-Assad, juga tumbang pada Desember 2025. Kondisi geopolitik itu dinilai memberi ruang bagi AS dan Israel untuk meningkatkan tekanan secara militer.
Bagi para pendukung kebijakan Trump, diplomasi dianggap telah mencapai jalan buntu. Mereka memandang bahwa Iran bersikeras mempertahankan haknya untuk memperkaya uranium.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: