KPK Larang Koruptor Pakai Masker, Mengapa DPR Terganggu?

Rencana larangan bermasker kepada koruptor oleh KPK ditolak oleh DPR RI.--
--
WACANA pelarangan penggunaan masker bagi para tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memunculkan perdebatan antara keterbukaan informasi publik dan perlindungan terhadap hak tersangka. Dalam konteks penegakan hukum yang semakin kompleks dan penuh tantangan, usulan ini sesungguhnya mencerminkan upaya KPK untuk menjaga kepercayaan publik melalui prinsip transparansi.
Yang mengherankan, penolakan justru datang dari Anggota Komisi III DPR RI, lembaga yang semestinya menjunjung objektivitas dalam menjalankan fungsi legislasi.
Secara normatif, DPR memiliki kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang bersama Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan ini harus dijalankan dalam semangat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Artinya, produk legislasi harus berpijak pada prinsip keterbukaan dan menjawab kebutuhan keadilan publik. Ketika KPK mengusulkan agar wajah tersangka korupsi dapat ditampilkan secara terbuka sebagai bagian dari pembaruan hukum acara pidana, lembaga ini tidak sedang bertindak sewenang-wenang. Usulan tersebut adalah bagian dari dialog konstitusional antara pelaksana penegakan hukum dan pembentuk Undang-Undang.
BACA JUGA:KPK Telusuri Harun Masiku Usai Hasto Divonis Terkait Kasus Penyuapan
BACA JUGA:KPK Panggil Rudy Ong Terkait Suap Izin Tambang di Kaltim
Kritik bahwa kebijakan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama berkaitan dengan asas/prinsip praduga tak bersalah, seharusnya tidak diterima begitu saja tanpa telaah yang cermat. Prinsip praduga tak bersalah memang merupakan pilar penting dalam hukum acara pidana. Asas ini menjamin bahwa setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana harus diperlakukan sebagai tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Namun, asas ini tidak serta-merta menutup akses publik terhadap informasi yang sah, apalagi dalam perkara yang menjadi perhatian luas masyarakat. Praduga tak bersalah mengatur perlakuan prosedural terhadap tersangka oleh aparat penegak hukum. Tetapi tidak otomatis menghalangi keterbukaan informasi yang relevan untuk kepentingan publik.
Menampilkan wajah tersangka dalam forum resmi seperti konferensi pers, selama tidak disertai narasi penghukuman, bukanlah bentuk vonis atau pelanggaran hukum. Tidak ada larangan eksplisit dalam hukum acara pidana sepanjang tindakan tersebut menjunjung asas proporsionalitas, menjamin perlakuan yang manusiawi, dan tidak membentuk opini publik yang mengarah pada kesimpulan bersalah secara prematur.
Sistem hukum acara pidana bertujuan tidak hanya untuk melindungi individu, tetapi juga memastikan agar proses peradilan berlangsung secara transparan, akuntabel, dan tidak disalahgunakan.
BACA JUGA:KPK Ungkap Dugaan Pemerasan TKA di Kemnaker, Atlet Asing jadi Korban
BACA JUGA:KPK segera Rilis Identitas Tersangka Dugaan Korupsi Dana CSR BI
Kebijakan KPK yang melarang penggunaan masker oleh tersangka, kecuali karena alasan medis atau pertimbangan rasional lain, mencerminkan penerapan prinsip proporsionalitas dalam praktik. Keterbukaan ini ditujukan untuk menjaga transparansi proses hukum serta mencegah kesalahan identifikasi di ruang publik. Kebutuhan masyarakat untuk mengetahui informasi secara jelas bukan semata-mata dorongan media, melainkan bagian dari keadilan prosedural yang memungkinkan kontrol sosial terhadap aparat penegak hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: