Menutup ICOSPACS 2025 dengan City Tour: Dari Jembatan Merah sampai Sirup Limun

Tamu-tamu dari berbagai negara diajak berkeliling Kota Lama Surabaya setelah mengikuti sesi presentasi dari ICOSPACS 2025. --HARIAN DISWAY
SURABAYA, HARIAN DISWAY - Matahari sudah tinggi ketika rombongan terakhir peserta ICOSPACS 2025 turun dari bus. Kamis, 31 Juli 2025 pagi itu, Surabaya tak sedang bersahabat. Teriknya menari di kulit. Tapi tak satu pun wajah terlihat mengeluh. Malah tersenyum dan ponsel yang saling berebut momen tampak di mana-mana.
Pagi itu, penutupan konferensi internasional ilmu sosial dan politik tersebut tidak dilakukan di dalam aula berpendingin, melainkan dengan cara yang jauh lebih membumi: city tour. Dimulai dari gedung Internasio di kawasan Kota Lama, para peserta diajak menyusuri jejak sejarah kota Pahlawan.
“Bangunan ini dulunya saksi bisu masa penjajahan. Disebut Kota Lama karena di sinilah Surabaya tempo dulu tumbuh,” jelas seorang pemandu wisata dari Cak dan Ning Surabaya.
Memandu tamu dari berbagai negara dan kota dengan semangat. Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia terdengar bergantian, seperti harmoni dalam keragaman.
BACA JUGA:Inovasi Untag Surabaya Bantu Mojokerto Atasi Masalah Pengeringan Rebung
BACA JUGA:Teknologi Tepat Guna dari Dosen Teknik Mesin UNTAG Surabaya Untuk Desa Selotapak
Perjalanan dilanjutkan ke Museum De Javasche Bank untuk mengenal sejarah keuangan di Indonesia. --HARIAN DISWAY
Asal usul Jembatan Merah yang ikonik turut dijelaskan. Bagaimana jembatan itu dulunya menjadi jalur utama distribusi barang dan denyut ekonomi masa kolonial. Cerita tentang pertempuran, perdagangan, dan pertahanan disampaikan dengan gaya santai namun berisi. Tamu-tamu dari Malaysia dan Filipina pun tampak terpikat.
"Saya sangat menikmati ambience kota Surabaya," ujar Andar Pilkada Putra, mahasiswa Administrasi Bisnis dari Politeknik STIA LAN Bandung. Meskipun panasnya melebihi kota asalnya, ia merasa penutupan ini memberi kesan yang mendalam.
Petualangan sejarah tak berhenti di sana. Lewat gang-gang kecil, peserta diarahkan menuju sebuah pabrik sirup limun tua. Perusahaan lokal itu sudah berdiri sejak masa kemerdekaan. Di sanalah peserta melihat langsung proses pembuatan sirup yang jadi bagian dari keseharian warga Surabaya selama puluhan tahun.
Beberapa bahkan membeli botol-botol sebagai oleh-oleh, bukti bahwa pengalaman rasa tak bisa dipisahkan dari pengalaman wisata. “Saya baru tahu ada sirup seperti ini dari Surabaya,” kata Eirinne Caitlin T. Cuyugan, mahasiswi dari University of the Philippines Diliman.
BACA JUGA:Beasiswa Penuh untuk Pemuda Katolik di Untag Surabaya: Jalan Menuju Indonesia Emas
Dia mengaku sangat terkesan dengan city tour yang menyenangkan dan penuh informasi. Dari limun, perjalanan berlanjut ke De Javasche Bank. Gedung peninggalan kolonial itu kini berfungsi sebagai museum keuangan. Di sana, para peserta diajak menyelami bagaimana sistem keuangan Indonesia lahir dan berkembang.
Para Cak dan Ning kembali menjelma jadi dosen sejarah mini, menyuguhkan narasi-narasi yang membuat peserta terbelalak. Bahkan cerita tentang uang jaman penjajahan pun menjadi bahan diskusi hangat. Tidak ada ruang bosan. Semua terisi rasa ingin tahu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: