Akhir Juli dan Warisan Prancis: Republik, Rakyat, dan Tantangan Zaman

Akhir Juli dan Warisan Prancis: Republik, Rakyat, dan Tantangan Zaman

ILUSTRASI Akhir Juli dan Warisan Prancis: Republik, Rakyat, dan Tantangan Zaman.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Prancis sendiri, melalui revolusinya pada abad ke-18, telah lama mencitrakan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai republik dan hak asasi manusia. 

Warisan itu masih hidup dan bisa menjadi sumber inspirasi global dalam menjawab tantangan zaman, mulai ketimpangan sosial hingga krisis iklim.

Sikap Prancis terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina selama ini kerap dianggap ambigu. Di satu sisi, Prancis mendukung solusi dua negara antara Palestina dan Israel. Namun, di sisi lain, negara itu dinilai kurang tegas dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel.

Namun, pada 24 Juli 2025, arah politik itu tampaknya mulai mengalami perubahan penting. Konsulat Jenderal Prancis di Yerusalem menerima surat dari Presiden Emmanuel Macron sebagai tanggapan atas permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas terkait rencana pengakuan kedaulatan negara Palestina. Pengakuan resmi tersebut dijadwalkan pada bulan September 2025.

Rencana itu memiliki makna strategis dan simbolis yang besar. Sebagai negara dengan pengaruh kuat di Uni Eropa, langkah Prancis dapat membuka jalan bagi konsolidasi internasional yang lebih luas dalam mendukung solusi damai dan adil di Timur Tengah. 

Menariknya, pengumuman itu dilakukan pada bulan Juli, bulan yang sarat makna sejarah bagi Prancis. Setiap 14 Juli, negara itu merayakan Bastille Day, mengenang Revolusi Prancis 1789 yang melahirkan prinsip liberte, egalite, fraternite.

Tidak berlebihan jika keputusan politik itu dilihat sebagai kelanjutan dari warisan revolusi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan perlawanan terhadap penindasan. 

Revolusi Prancis telah lama menjadi inspirasi global dalam perjuangan atas keadilan dan hak-hak rakyat, termasuk dalam konteks perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi kekuasaan yang tidak adil.

Di tengah dunia yang dihadapkan pada tantangan kompleks seperti neoliberalisme yang menyingkirkan kepentingan rakyat, krisis iklim global, dan praktik demokrasi yang manipulatif, semangat revolusi itu masih sangat relevan. 

Ia mengingatkan bahwa kewarganegaraan bukan hanya status administratif, melainkan juga tindakan aktif rakyat dalam melawan kesewenang-wenangan dan memperjuangkan keadilan sosial, baik di dalam negeri maupun dalam percaturan politik global.

Dalam konteks Palestina, pengakuan Prancis bisa dimaknai sebagai upaya menegakkan prinsip-prinsip republik di tengah ketimpangan geopolitik yang sudah berlangsung puluhan tahun. 

Itu bukan hanya soal hubungan bilateral, melainkan juga cermin dari komitmen moral terhadap cita-cita revolusi yang lahir dari suara rakyat dan untuk rakyat. Kini, pertanyaannya, akankah negara-negara lain menyusul langkah Prancis atau tetap bungkam dalam ketidakpastian? (*)

*) Irfa’i Afham adalah dosen Departemen Politik dan Peneliti Pusat Studi Eropa dan Eurasia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: