Ah, Surabaya Tak Seindah Masa Kecilku Dulu: Menyoal Lenyapnya Jembatan Tunjungan Center

Ah, Surabaya Tak Seindah Masa Kecilku Dulu: Menyoal Lenyapnya Jembatan Tunjungan Center

ILUSTRASI Ah, Surabaya Tak Seindah Masa Kecilku Dulu: Menyoal Lenyapnya Jembatan Tunjungan Center.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Menurut Johan Silas, bangunan dengan arsitektur jengki sangat sedikit karena arsitektur itu hanya ada di Indonesia, tepatnya di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah sekitar tahun 1950-an sampai 1960-an. 

Selain itu, Pasar Wonokromo merupakan salah satu upaya warga Kota Surabaya untuk lepas dari pengaruh arsitektur bergaya Belanda, begitu pula pembangunan Jembatan Center di era 1980-an ini.

Saya sendiri sungguh mengagumi konstruksi jembatan itu, sungguh mengingatkan saya atas konstruksi Centre Georges Pompidou yang dibangun pada kurun waktu 1971–1977 pada suatu area di Beaubourg dari Distrik 4th Arrondissement dari Kota Paris. 

Bagi orang-orang awam, Jembatan Tunjungan Center layaknya Centre Pompidou di Paris tidak ubahnya sebuah bangunan berfasad rumit, mirip lokasi konstruksi yang belum rampung. Namun, ia menawarkan sesuatu cita rasa arsitektural yang berbeda, bahkan menjadi penanda zaman. 

Letaknya yang strategis di Jalan Tunjungan, sebuah jalan yang tak hanya bersejarah, tetapi juga menjadi jantung hati Kota Surabaya. Hadirnya Jembatan Tunjungan Center seolah menjadi penyemarak rupa modernitas Jalan Tunjungan kala itu. 

Sebab, di sepanjang jembatan itu ataupun ruang-ruang yang di sekitarnya memberikan cerita dan nilai kehidupan tersendiri. Sungguh sebuah etalase kota yang indah tiada terperi. 

Kita masih ingat, bagaimana anak-anak sekolah SMPN 3 ataupun SMPN 4 Surabaya bersukacita bermain dingdong atau hadirnya lapak-lapak penjual rokok, jersey sepak bola, kaus-kaus gaul hingga VCD bajakan, lebih dari sekadar transaksi jual beli, tetapi menjadi sebuah roman kehidupan jalan Tunjungan yang takkan tergantikan. 

Zaman berganti, jembatan itu masih kokoh berdiri meski cerita yang ditawarkan tidaklah pernah sama. Dibangunnya koridor co-working space tak serta-merta memudarkan pesona yang dimilikinya. 

Sebagai kota kerja, sejumlah komunitas, pekerja kreatif merasa memiliki jembatan ini sebagai sebuah wahana dalam menggelorakan daya cipta.  Jembatan Tunjungan Center dalam perjalanannya telah membangun benteng kearifan lokalnya sendiri.

Saya mengakui bahwasanya saat ini Jalan Tunjungan telah menunjukkan gemerlap kembali pesonanya. Namun, sungguh naif rasanya jika alasan itu yang dipakai untuk melenyapkan salah satu ingatan kolektif arek-arek Suroboyo ini. 

Meski pada kenyataannya jembatan itu tak secerah dulu –kini terkesan gelap dan suram– ia tetap memiliki pesona tersendiri. 

Jembatan Tunjungan Center bukanlah aib yang harus dihapus. Ia sebuah identitas dan semangat kota yang menjembatani antara pelajaran kehidupan di era lalu dan era sekarang demi menapaki kehidupan yang lebih baik di masa akan datang. 

Jembatan Center juga merupakan tempat berteduh sejenak, melepas lelah dari panas, deru, dan debu laju Surabaya sembari memberikan harapan ini akan baik-baik saja dengan terus melangkah tanpa takut dan ragu.

Mengakhiri tulisan ini, memang benar jika pada akhir-akhir ini, saya merasakan bahwa Surabaya tak seindah masa kecilku dulu.  (*)

*) Dhahana Adi Pungkas adalah local and cultural interpreter, academic.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: