Refleksi HUT Ke-80 Kemerdekaan RI: Globalisasi dan Imunitas Nasionalisme Kita

ILUSTRASI Refleksi HUT Ke-80 Kemerdekaan RI: Globalisasi dan Imunitas Nasionalisme Kita.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Ia bermula dari Barat, membawa jejak kuat kekuasaan politik dan ekonomi Amerika Serikat serta mempunyai konsekuensi yang sangat tidak seimbang. Globalisasi juga melahirkan pola hubungan yang tidak seimbang dan sarat dominasi negara maju atas negara berkembang atau miskin.
Homogenisasi budaya yang dirancang dan disemburkan melalui globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme makin merombak tata laku dan pola perilaku budaya masyarakat (lokal).
Identitas sosio-kultural masyarakat makin tergerus seiring dengan kuat dan gencarnya penetrasi budaya global (Barat). Contoh yang paling sederhana dapat dilihat dari perilaku dan budaya makan.
Masyarakat kita sudah gandrung dengan pola makan instan ala Barat (baca: Mcdonald, KFC, dll). Budaya serbainstan juga merembet pada aspek kehidupan yang lain.
Gaya hidup, norma, dan nilai, adat dan kebiasaan, keyakinan agama, pola kehidupan keluarga, cara produksi, dan konsumsi masyarakat pribumi rusak akibat penetrasi dan homogenisasi kultur Barat (Sztompka, 2004:108).
MEMPERKUAT IMUNITAS NASIONALISME
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Meski demikian, sebagai bangsa yang memiliki nilai dan ideologi Pancasila, kita mesti berpikir dan bertindak kritis. Salah satu yang penting dalam merespons dampak globalisasi adalah bagaimana membangun imunitas nasionalisme kita.
Kita sekarang sedang menghadapi ”perang asimetris” melalui teknologi informasi dan komunikasi. Kita sangat membutuhkan sikap nasionalisme genuine, bukan kepura-puraan yang sarat dengan pencitraan.
Membangun imunitas nasionalisme dengan cara menyuntikkan ”virus kekebalan” ke setiap tubuh pribadi-pribadi anak bangsa. Salah satunya adalah membudayaan sikap mencintai Indonesia seutuhnya. Contoh sederhana: ”cintailah produk-produk dalam negeri”.
Pada saat yang sama, kita butuh masinis unggul: bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memiliki nasionalisme organik, yakni pemimpin yang otentik, genuine yang lahir dari rahim rakyatnya, merasakan penderitaan ibu pertiwi.
Pemimpin yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan rakyat Indonesia, memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.
Pemimpin yang memiliki ketegasan dan keberanian untuk melawan setiap upaya dari pihak mana pun yang akan menghancurkan kedaulatan nasional.
Bukan pemimpin ”topeng”, karbitan yang penuh dengan pencitraan dan kepura-puraan. Bukan pula pemimpin yang mudah menggadaikan harga diri bangsa dan mudah ”mesem-mesem” ketika ditawati dolar.
Presiden Pertama RI Soekarno mengingatkan, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan maju jika ditopang atas dasar tiga pilar utama ”trisakti”. Yakni, berkemandirian dalam ekonomi, berkedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pemimpin berjiwa nasionalisme otentik itu diharapkan akan dapat membangun kembali nasionalisme baru Indonesia menuju negara yang maju, mandiri, dan berdaulat. Itulah pekerjaan rumah kita sekarang dan akan datang. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: