Manajemen Regulasi Emosi Dokter Syahpri, Terima Kasih Teladannya!

ILUSTRASI Manajemen Regulasi Emosi Dokter Syahpri, Terima Kasih Teladannya!-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Reaksi spontan yang mungkin muncul di benak kita semua adalah, ”memang siapa kamu, Bung?!”
Namun, dr Syahpri berhasil melewati ”momen amigdala” itu. Ia tidak membiarkan emosi primitif mengambil alih. Sebaliknya, ia mengaktifkan korteks prefrontalnya, bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional, pengambilan keputusan, dan kesadaran sosial.
Kemampuan merespons dengan kepala dingin, tetap fokus pada tujuan utama (keselamatan pasien dan penegakan prosedur), dan sadar penuh saat berada di bawah tekanan hebat.
Itulah yang membedakan seorang profesional sejati. Ia memilih kekuatan tenang dalam diam ketika pilihan untuk berkata keras dan membalas sangat terbuka lebar.
Itulah sejatinya kekuatan kasih dan cinta pada profesi yang kini mulai terkikis oleh pragmatisme dan arogansi zaman.
Apa yang dilakukan dr Syahpri adalah demonstrasi nyata bahwa kombinasi antara empati, profesionalisme, dan proporsionalitas dapat berjalan beriringan.
Ia menunjukkan bahwa esensi dari pelayanan (services) di dunia medis bukanlah sekadar merawat penyakit pasien, tetapi juga merawat martabat diri sendiri dan kehormatan profesi.
Ia tidak merendahkan dirinya menjadi pesuruh yang menuruti semua kemauan, tetapi tetap menjadi seorang ahli yang memandu berdasarkan ilmu dan sumpahnya.
Sebagai seorang sejawat, kami merasa mendapat sebuah percontohan perilaku yang luar biasa. Namun, kekaguman itu tidak boleh berhenti hanya pada tepuk tangan virtual.
Kejadian tersebut tidak bisa dan tidak boleh didiamkan. Itu adalah lonceng peringatan untuk meningkatkan perlindungan bagi seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia.
Perlindungan itu harus datang dari berbagai lini.
Pertama, manajemen rumah sakit. Institusi perlu menciptakan lingkungan kerja yang aman. Pihak manajemen perlu memiliki protokol yang jelas untuk menangani agresi verbal dan fisik.
Misalnya, aturan perjalanan pasien dan keluarga pasien untuk merekam foto/video lingkungan RS, menyediakan petugas keamanan yang terlatih, dan yang tidak kalah penting, memberikan pendampingan psikologis bagi tenaga medis yang mengalami insiden traumatis.
Kedua, pelindungan dari organisasi profesi. Syukurlah, Majelis Disiplin Profesi (MDP) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) khususnya cabang Banyuasin telah sigap turun tangan untuk mengawal kasus itu dari segi hukum.
Langkah tersebut krusial untuk memberikan efek jera dan menegaskan bahwa profesi dokter memiliki payung hukum yang kuat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: