Arti dan Nilai Pada RUU Perampasan Aset

Aksi menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset.--
RUU ini berjudul RUU Perampasan Aset terkait Tindak Pidana, tetapi dalam Pasal 1 angka 3 tersebut menyebut sebagai Perampasan Aset Tindak Pidana (yang selanjutnya disebut sebagai Perampasan Aset). Dalam rangka perampasan aset, yang merupakan upaya pemulihan aset, RUU ini memperkenalkan berbagai mekanisme yang dilaksanakan dalam rangka asset recovery, yaitu penelusuran, penghentian transaksi, pemblokiran, dan penyitaan. Mekanisme ini dianggap sebagai early asset recovery.
Hal terpenting dari proses asset recovery ini adalah Asset Management (pengelolaan aset), yang harus jelas mekanismenya, dan bagaimana proses pengelolaan serta siapa yang bertanggungjawab mengelola.
Pengertian Perampasan Aset menurut Pasal 1 angka 3 RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Pendekatan yang hendak diperkuat di dalam rezim perampasan aset di dalam RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana ini adalah Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), yang kemudian dipahami secara mudah sebagai sebuah proses perampasan atas aset tindak pidana yang dapat dilakukan tanpa menunggu proses peradilan pidana memutuskan kesalahan dari Pelaku atau Terdakwa, tetapi dilakukan dengan pendekatan gugatan keperdataan atas benda/asetnya.
Mengapa NCB ini harus dilakukan? Theodore S. Greenberg, dkk dalam buku: Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture, memberikan penjelasannya. Mencuri aset publik merupakan permasalahan yang sangat serius dalam Pembangunan. Dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat hal tersebut dapat berupa degradasi dan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik, hak-hak dasar yang harus menjadi tanggungjawab negara seperti program kesehatan, pendidikan dapat terganggu karena maraknya korupsi dalam mekanisme penyediaan layanan sosialnya, iklim investasi swasta yang semakin melemah, dan lain sebagainya.
Hal yang harus diperhatikan kemudian adalah setelah dana-dana tersebut dicuri, akan dilakukan perbuatan lainnya seperti transfer ke luar negeri, dan lainnya, sehingga menyebabkan aset tersebut akan sulit untuk dipulihkan. Di lain pihak hal ini dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang, di mana jurisdiksi dari aset yang disembunyikan ini disembunyikan oleh pelaku, dalam beberapa hal juga sering disembunyikan di negara-negara maju.
Kesulitan kemudian muncul. Biasanya permintaan untuk melakukan bantuan hukum pengembalian aset akan mengalami kesulitan karena syarat-syarat kecukupan hukumnya tidak terpenuhi. Termasuk di dalamnya adalah pengaturan NCB Asset Forfeiture yang belum diberlakukan.
Hal ini akan menimbulkan kesulitan bagi pemulihan aset secara keseluruhan. Oleh karenanya NCB Asset Forfeiture ini perlu direspon dengan mempersiapkan pengaturan yang lebih lengkap dan praktis yang dapat dipergunakan oleh negara.
Oleh karenanya dalam UNCAC, pengembalian aset (the return of assets) diidentifikasikan sebagai prinsip paling fundamental. Selain itu juga pentingnya memperhatikan mengenai memadainya prosedur untuk memastikan bahwa Lembaga keuangan memberikan perhatian khusus terhadap aktivitas mencurigakan pihak yang disebut Politically Exposed Persons/PEPs, dan anggota keluarga serta rekan terdekat mereka.
Di sinilah nilai dan keberartian RUU Perampasan Aset yang harus dipahami dan dengan diikuti dengan ketersiapan sistem, mental penegak hukum, pejabat, dan seluruh rakyat yang akan menjadi pelaksana RUU Perampasan aset harus diperkuat sehingga RUU ini tidak hanya dipandang sebagai alat, tetapi sebagai sarana positif untuk mewujudkan social policy bagi bangsa Indonesia. (*)
*) Prof. Dr. Go Lisanawati, S.H., M.Hum, Dosen Fakutas Hukum Universitas Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: